Minggu, 19 November 2017

TEMAN

Semua orang pada umumnya pasti mempunyai teman. Begitupun kamu. Saat aku memutuskan untuk menjalani kisah baru bersamamu, akupun ingin tahu seperti apa teman-temanmu. Seperti apa pergaulanmu. Seperti apa dirimu saat menghabiskan malam bersama mereka. Bukan aku ingin dikenal oleh temanmu, namun bagiku, sebagian cerminan diri adalah bagaimana kita berteman. Diawal kemarin, aku belum kenal dan bertemu dengan teman-temanmu. Aku hanya tahu komunikasi kalian melalui pesan whatsapp. Bukan sebuah kelancangan bagiku jika aku membuka handphone dan mengecek chatmu. Toh aku meminta ijin dan ia mengijinkannya. Satu pesan kubaca, ada istilah kata yang tidak kumengerti. Aku bertanya, “ini maksudnya apa?”. Bukan apa-apa, jawabnya singkat. Aku kembali membaca chat lainnya. Aku tertawa kecil saat melihat daftar kontak handphonenya hanya ada 10 nama. Itu semua nama laki-laki. Walaupun ada beberapa pesan dari nomor whatsapp yang tidak ia simpan, namun aku tahu itu juga chat dari teman laki-laki lainnya.

Waktu berjalan, aku selalu melakukan audit saat kita bertemu. Dan bertanya lagi, “chat ini maksudnya apa? Aku gak ngerti deh”. Lagi-lagi ia menjawab itu bukan apa-apa. Aku curiga, seperti ada hal yang disembunyikan. Lalu ia bercerita semalam pergi bersama teman-teman dan baru pulang esok paginya. Kau bergadang? Tanyaku sedikit menekan.
“Iya.”
“Bilangnya pulang jam 2?”
“Iya maaf. Jadinya pulang pagi.”
Aku merasa dibohongi. Memang sepele, maksudku kenapa ia tidak jujur saja. Tak perlulah berbohong karena takut aku akan marah. Aku terdiam.
“Ya udah gapapa”.

Aku terus memikirkan chat yang kemarin kutanya. Tiba-tiba aku teringat satu hal. Aku tahu maksud kode chat itu. Ku minta sore ini untuk bertemu. Kami duduk bersebelahan, kupesankan ia segelas kopi hitam. Kubiarkan ia menghabiskan satu batang rokok. Aku memulai pembicaraan. Kucoba untuk bertanya dengan sangat hati-hati dan berkepala dingin.
“Kamu mau cerita atau aku yang tanya?”
Sambil menyeruput kopi yang masih panas, ia menggeleng, tidak mengerti maksudku.
“Aku ngomong, kamu dengerin ya.”
“Aku tau maksud chat kalian waktu itu. Aku tau apa yang kalian bahas. Sejak kapan? Udah lama ya? Aku gak bakal marah. Apasih gunanya? Kamu bisa lakuin hal lain. Kalau capek, gak perlulah begitu. Sekarang jugakan ada aku, kamu harus berubah. Berubah lebih baik buat diri kamu. Sebab kalau kamu berubah karena oranglain dan disaat orang itu kecewain kamu, kamu akan kembali menjalani hidup yang dulu lagi. Aku ngomong panjang, kamu dengerin gak?.”
“Iya, denger.”
“Terus?”
“Aku coba. Semua butuh proses ya.”
Bukan itu saja, aku sempat memintanya untuk tidak merokok. Atau setidaknya dibatasi, tiga kali dalam sehari.
“Ah, yang bener kalo nanya. Orang makan aja sehari bisa empat kali.”
Aku terkekeh.

“Itu kalian chat bahas itu lagi.”
“Aku cuma nimpalin, nggak ikutan.”
“Kalau ditawarin?”
“Nolak lah, tapi kalau dicampur sama kopi yang kuminum mana aku tahu.”
Aku gemas. Kujawab dengan tegas “belum aja tempat main kalian aku acak-acak.”
Ia tertawa geli. Hidungku kembang-kempis. Hey, aku serius!

Setelah itu kau sering membawaku untuk berkumpul dengan teman-temanmu. Sedikit banyak aku mengetahui lingkar pertemananmu. Selagi hal yang kau lakukan tidak merugikan dirimu dan oranglain, aku pasti mendukung. Namun aku juga yang akan melarangmu jika kau berulah lagi. Bertemanlah dengan siapapun, tanpa mudah tergoyah, aku tahu kau punya niat baik untuk berubah.

Aku tidak akan berulangkali mengingatkan. Cukup sekali dan kau mengikuti. Aku tidak keberatan jika kau harus berbohong dalam setiap hal. Sebab kau akan merasakan suatu saat kebohongan-kebohongan itu yang akan memberi jarak pada sebuah hubungan, dan membuat satu diantara kita menghilang. Semoga kau paham, tuan.

Men(y)enangkan

Siapa yang tak bahagia disukai oleh orang yang kita sukai?
Siapa yang tak bahagia memiliki orang yang kita sayangi?
Aku merasa ditemukan. Setelah terjatuh pada hal yang membuat pikiran keruh, ia datang memberikan hal yang kubutuh; dicintai oleh sosok yang memang kuinginkan.

Selama ini, hanya satu lembar yang terus kubaca. Membolak-balik halaman yang itu-itu saja. Ketika aku mencoba membuka halaman baru, kau menemukanku; lembaran baru yang seharusnya kubaca.
Tanpa pernah kau bertanya seperti apa aku sebelum bersamamu saat ini, kau berani meyakinkan bahwa kau datang tanpa berpikir untuk meninggalkan.

Kalau kita udah gak bisa sama-sama lagi, itu karena alam dan waktu.”

Lelaki pendiam itu menatap mataku lamat-lamat. Berulang kali menghisap rokok yang terselip dijarinya. Ini sudah rokok ketiga. Asap kopi hitam yang ia pesan semakin menipis. Kami hanya diam untuk waktu yang lama. Aku memulai pembicaraan, bertanya satu-dua hal. Ia menjawab sekenanya. Aku tahu dengan siapa aku berbicara. Aku tahu harus seperti apa menghadapi sosok dingin di depanku saat itu. Tidak mudah membawanya masuk dalam perbincangan hangat saat senja. Ternyata canda yang kukeluarkan cukup ampuh membuatnya tersenyum dan tertawa.  

Hubungan ini memang masih seumuran jagung, namun sudah banyak hal yang kita lewati. Berawal saat kau mengenalkanku pada kedua orangtuamu, dan pertemuan-pertemuan baik berikutnya. Aku senang diterima dalam keluarga lain yang baru kukenal. Aku senang saat ibumu bercerita dan membuatku mengetahui lebih banyak hal tentang dirimu. Aku suka saat membantu ibumu merapihkan piring-piring sehabis kita makan. Aku suka menyiapkan bantal yang akan kau pakai tidur saat malam. Aku suka semua hal yang kita lakukan.

Kau tak perlu takut aku akan mencari kebahagiaan pada oranglain dan mencari-cari hal yang tidak ada didirimu. Akupun pernah berjanji, jika hubungan ini harus berakhir, kupastikan bukan karena pengkhianatan. Aku senang kau tidak mengekang, tidak juga melarang-larang. Kau bilang; Aku ini baru pacarmu, bukan suamimu, mana berani aku melarang atas hal yang ingin kau lakukan? Aku tahu kau perempuan dewasa, tahu mana yang baik dan tidak.

Singkat namun selalu kuingat. Kau melepasku dengan bekal kepercayaan yang kau titipkan. Sayang, aku tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti dulu. Karena kau menenangkan, karena kau menyenangkan. Walau harus aku yang pintar-pintar mencari pembahasan untuk kita bicarakan. Kau bukan tipikal orang yang akan memulai pembicaraan. Lagipula aku tidak keberatan untuk memberi umpan awal agar suasana menjadi lebih menyenangkan.

Kau selalu membuatku penasaran. Apalagi tatapan elang yang kau tunjukkan saat aku rewel bercerita, membuatku ingin menelanmu hidup-hidup. Kau juga hebat, membuatku menjadi perempuan sabar dan tidak mudah marah. Kau sosok pendiam yang selalu mencuri perhatian. Semoga rasa ini seimbang dengan pembagian 50:50. Semoga hubungan ini tidak berat sebelah. Bukan hanya aku atau kau saja yang mencinta, tetapi melibatkan kami berdua dalam menjalani kebahagiaan bersama. Jika dahulu aku berprinsip “kalau kita dibahagiakan orang lain, dan kamu setuju akan hal itu,  kamu boleh pilih dia”. Aku ingin mengubahnya menjadi “tetaplah disini, seburuk apapun kondisi yang kita hadapi”.

Aku senang saat duduk berdampingan denganmu; tuan pemesan kopi hitam.
Aku mau jadi teman minum kopimu sampai dingin.
Satu lagi, aku suka saat semesta dan hujan seolah bekerjasama untuk menahanmu, disini.

Rabu, 01 November 2017

RUMIT


Percintaanku rumit, dimulai dari aku dan ia yang membangun hubungan selama lima tahun, dan harus berakhir begitu saja. Lalu dengan cepat aku mengambil keputusan untuk menerima orang baru. Mencoba menyayanginya, membuat rasa nyaman saat bersamanya. Namun hanya kekosongan yang aku rasa. Hanya ia yang merindu, hanya ia yang banyak memberi waktu. Aku yang sering menghindar untuk sebuah pertemuan. Aku yang hanya marah-marah tanpa alasan. Dan kau tahu? Aku menjadi lebih egois dan pembangkang. Kubiarkan berhari-hari tanpa memberinya kabar, bermaksud untuk menciptakan debar dan rindu. Apakah ia sosok yang benar-benar aku inginkan? Lagi-lagi yang kutemukan hanya kekosongan. Keributan kecil dipikiran terus melayang; melanjutkan atau melepaskan.

            Bagaimana bisa aku menjalani sebuah hubungan dengan satu hati? Maksudku, hanya ia yang memberiku hati. Bagaimana bisa kami terus bersama jika pikiranku masih saja terbayang masalalu bersama tuan bajingan?. Walaupun ia menerima keadaanku yang belum berpindah hati, tetap saja hubungan seperti itu tidak akan sehat. Cepat atau lambat ia akan merasa sakit. Sebulan penuh aku pikirkan untuk melepasmu. Ragu dan yakin selalu berbisik ditelinga. Kuhela nafas panjang, dan kuputuskan untuk berhenti—darimu--.

        Kuakui, Februari 2016, aku menyukai seseorang secara diam-diam. Dan itu sudah lama sebelum aku mengenalmu. Awalnya aku hanya mengaguminya. Tidak memberi isyarat bahwa aku inginkan dirinya. Aku yakin ia hanya mengganggapku biasa-biasa saja. Daripada hatiku bertepuk sebelah tangan, maka aku anggap hanya suka-suka biasa. Waktu berjalan, kau tahu? Ia memberiku respon positif. Virus merah jambu menyerang dirinya. Selanjutnya adalah hal-hal yang nanti akan kutuliskan kembali.

MAAF


Aku menulis ini, untuk mengucapkan maaf dan terimakasih.
Kepadanya; yang memberikan banyak waktu untuk membahagiakan aku.
Terimakasih untuk tiga bulan terakhir.

Maaf jika aku menyakitimu, kau pun tahu dalam hidup ini perihal ditinggalkan atau meninggalkan pasti terjadi. Maaf jika kali ini aku menjadi orang yang meninggalkan dirimu. Aku selalu mencoba untuk memberi rasa kasih dan sayang kepadamu. Kucoba mensyukuri hadirmu. Kucoba menggenggam rindumu. Namun perasaaan-perasaanku tak dapat dibohongi; Aku merindukan seseorang.


Kau juga pantas bahagia, kita bisa menjadi teman seperti awal jumpa. Tak perlu saling memblokir kontak, kau bukan orang seperti itu. Terimakasih untuk hal-hal baik dan manis yang pernah kau berikan dan perjuangkan. Terimakasih pernah mengusap airmata saat aku menangisi hal-hal perih. Terimakasih telah membuat kerumitan menjadi hal yang baik-baik saja. Terimakasih kau telah menerima keputusanku ini dengan bijak.

Jejak Rindu


Awal Desember 2011, perkenalan kami melalui pesan singkat.
Akhir Desember 2011, pertemuan perdana kami pada perayaan malam pergantian tahun.
Januari 2012, kesepakatan kami untuk membangun hubungan satu tingkat lebih serius.
Mei 2017, kau menghapus aku.

Hujan hadir lagi. Di sore yang masih sepi aku kembali mengingat dirimu yang tak pernah kuminta pergi. Ribuan huruf kuketik; hanya untuk merindu. Boleh kutanya kembali apa kabarmu, Tuan? Sekarang aku ingin ceritakan satu hal yang tak dapat kujelaskan langsung kepadamu. Tentang diriku kini yang telah rela melepasmu atas hal-hal yang membuatmu pergi. Aku siap tanpa kabarmu. Aku siap tanpa senyummu. Tak ada lagi kami. Hanya aku, kamu, dan kami yang sudah sendiri-sendiri. Cukup sudah aku merintih, menangisi setiap malam karena kau yang tak kunjung datang menghampiri.

Aku belajar bahwa berjuang bukan hanya mempertahankan. Rela melepaskan juga merupakan perjuangan. Karena aku sadar, berjuang sendirian adalah hal yang melelahkan. Semua benda yang kau berikan; tidak ada satupun yang kubuang. Kusimpan rapih dan apik di dalam lemari kecil. Pakaian, hoodie, sepatu yang manis di kaki, tas-tas yang kubutuhkan, foto-foto berdua yang dulu kucetak, dan sebuah cincin emas bertuliskan January 21 di dalam sisinya—yang kau berikan pada tahun jadi kami yang ke-empat, 2016. Cincin yang sampai sekarang masih melingkar cantik di jari manis kananku.

Munafik jika aku berteriak aku bisa melupakanmu. Kau akan tetap ada, meski hanya sebagai yang pernah ada. Walau sempat tak mengira bahwa aku dan kau akan menjadi masalalu. Cerita kita hanya menjadi abu. Padahal rindu ini pernah begitu memburu. Rindu saat kau mengetahui kebohongan-kebohonganku, dan menunggu aku untuk menjelaskan tanpa kau tanyai lebih dulu. Rindu melihat awan mendung dan hujan dari balik jendela kamarmu. Rindu menghitung banyak langkah jemari saat melewati batang hidung dan berhenti di bibirmu. Rindu saat kau menatapku dengan teduh, memegang kedua pundakku dan merubah atmosfer menjadi lebih hangat beberapa derajat.

Semua tentang kau dan kami dahulu akan selalu menjadi hal yang kurindukan.
Untuk doaku padamu yang tak pernah berubah; agar kau selalu bahagia.
Kau bukan hanya baik, kau juga seorang yang amat baik-baik.
Penuhi janji-janji--yang dulu kau ikrarkan padaku--untuk perempuan yang akan menjadi pendamping hidupmu.

Aku telah melewati banyak bersamanya,
dan aku tidak akan lupa dengan rasanya.

Dariku; yang benar-benar melepaskan.

19 Okt ‘17//19.32 pm

Selasa, 17 Oktober 2017

Jangan Jadi Aku


Dulu dia bahagia bersamaku. Sampai kau datang, membuatnya bimbang. Kau bawakan ia hal-hal manis. Kau membuat jaring sedemikian indah, menyuruh kekasihku—saat itu—untuk bertamu, melihat-lihat hal yang sedang kau rakit untuknya. Ia lengah dan terjebak setiap harinya dalam perangkap manismu. Hubungan kami semakin hambar, berjarak dengan macam kesibukan. Ia menyerah padaku. Melepasku yang selalu menuntut tanpa pernah menurut. Ia datangi jaring yang menurutnya lebih indah dan megah. Dia pasti lebih baik, menurut kekasihku—saat itu--.
Aku bergerilya. Membuat gerakan bawah tanah. Kau terlena. Bukti nyata rasa itu masih ada. Hanya menunggu waktu sampai kapan kekasih barumu bisa bertahan? Andai ia tahu bagaimana kau saat bersamaku. Diam-diam mata bertemu, melirik tanpa melihat siapa kita kini. Walau tak banyak kata, aku tahu, ada debar yang dinamis.  Aku mengajukan sebuah tanya; kamu masih sayang aku?. Hitungan detik. Tak ada jawaban. Suasana sunyi sekali. Hanya suara rintikan air hujan yang menetes pelan, berusaha menenangkan genting yang basah tiba-tiba. Ia memelukku. Hitungan menit, tanpa sepatah kata terucap. Sempat aku bercanda “Tanganmu sangat bau rokok. Aku gak suka”. Dalam-dalam ku hirup aroma tembakau yang kurindukan. Hitungan jam, memori kembali menguap.

 Siapakah yang jahat? Siapakah yang tega? Kau, yang telah mengambilnya dariku dengan segala kemanisan yang kau hidangkan? Atau aku, yang telah ia lepaskan demi bisa bersamamu?

Setiap pertemuan yang tak pernah kau mulai. Namun kau juga tak pernah menolak ajakan untuk sebuah sapa. Aku masih saja merindu, dan kau yang selalu memelukku dalam sunyi. Tak banyak obrolan yang diceritakan. Ditambah aku tak ingin mendengar cerita-cerita barumu. Aku hanya ingin di sini, diam bersama sejuta rasa yang dulu dan sampai kini masih ada. Bukan aku besar kepala, bukan, hanya saja jika kau menjadi aku, kau akan tahu bagaimana merasa teduh ketika kedua pasang mata terpejam hangat setelah terkekang oleh sebuah keterlanjuran.

Aku ( Belajar ) Merelakan

Dua-tiga bulan sudah kulalui.
Mencoba bahagia dengan satu hati.
Aku senang kembali dicintai.
Tapi sial, bayangmu masih saja menghantui.

Mencoba menerima dengan lapang sebuah kepergian. Padahal baru kemarin kau menertawakan lelucon bodoh yang kukatakan. Baru kemarin kau menjanjikan hal manis yang akan kita bangun di masa depan. Nama untuk dua anak laki-laki dan satu anak perempuan kecil yang kusiapkan. Alam begitu cepat mengambil semua memori. Lebih dari dua ribu hari kita bersama. Sudah berapa banyak hal baru yang kita cipta? Setelah lebih dari seratus hari sejak keputusanmu untuk pergi, aku masih saja begini. Berulangkali memutar lagu yang memunculkan kau dalam ingatan. Lucu memang, kita yang sering bertengkar dan aku yang membesarkan hal-hal sepele. Ambek dan amarah kecil yang kulontarkan selalu kau anggap sebuah candaan. Aku ingat saat kita duduk saling berhadapan di sebuah tempat makan, aku sedang kesal. Sampai makanan tersedia, aku hanya diam. Kau makan punyamu, mengejekku dengan sebuah suapan yang menjengkelkan. Ah, aku sedang kesal, tapi aku lapar. Itulah salah satu cara sederhanamu untuk membuat mood roller-coasterku seimbang.
Namun kini, kau menghapus dan memutus semua kontak denganku. Aku tahu, itu semua perbuatan perempuan barumu. Harusnya ia cukup tahu diri untuk tidak membatasi privasimu. Atau ia lupa? Bahwa dirinya hanya sebuah keterlanjuran yang hadir dalam keretakan hubungan kau dan aku dulu. Begitu banyak makian yang ingin kutumpahkan untuknya, tapi aku sadar, jemari ini terlalu manis untuk merutuki sebuah pengkhianatan.
Aku rindu melihat kau memantik api pada sebatang rokok yang terselip di jarimu. Pelan kau hembuskan asap dan mengipas-ngipas agar tidak mengenai wajahku. Aku tertawa. Aku rindu semua hal yang tak dapat kujelaskan di sini. Aku menjaga perasaan-perasaan yang cepat atau lambat akan membaca tulisan-tulisanku. Berdamai dengan rasa kecewa terus aku lakukan. Menetralkan rasa sakit bukan hanya butuh waktu untuk sendiri, namun aku juga butuh pengganti. Perlahan ku buka hati untuknya. Seseorang yang kurasa lebih baik darimu. Aku menjalani hari bahagia yang baru. Ia merawatku dengan segenap ketulusan hati. Namun nurani dan ambisi ini tak bisakah seimbang? Lagi lagi aku kalah. Selalu kau menang dalam perang batin yang tak kuinginkan. Aku menyayangi kekasihku, dan ia tahu aku belum mampu melupakanmu, mantan kekasihku.
Hubungan ini rumit, aku, kau, pacarku dan pacar barumu. Maaf jika ada kata yang menyakiti, tapi bisakah semesta mengembalikan ia padaku saja? Tanpa pihak lain dalam cerita ini. Maaf, egoku sedang besar-besarnya. Kenyataannya hatiku belum mampu melepas. Hatiku belum mampu menerima. Hatiku belum mengerti sebuah keikhlasan dalam merelakan. Hatiku masih berpegang teguh pada ambisi untuk mengembalikan hal yang dulu aku miliki.


Dariku, yang masih belajar merelakan.
Jkt 2017

Ombak yang Menggoda

Awalnya aku hanya bermain di bibir pantai, mengubur kedua telapak kakiku dengan pasir. Membuat cetakan-cetakan istana kecil yang diperindah dengan batuan kering pinggir laut. Ombak-ombak datang, mengikis timbunan pasir dari kakiku. Aku berdiri. Pindah ketempat lain untuk menghindari ombak.
‘Hai, kemarilah!’. Aku mencari sumber suara. Tak kutemukan orang lain. Hanya ada aku. Ternyata, suara halus berasal dari ombak di tengah laut, ia melambaikan tangan, tersenyum hangat. Membuat ku ingin berlari menghampiri. Toh, tak akan  berbahaya kalau sedikit ke tengah, aku bisa berenang. Batinku.
Aku berlarian kecil menuju hal yang ku rasa menyenangkan. Kami bertemu dan aku menyapa lebih dahulu. Bertanya apa ia senang menjadi satu-satunya ombak paling besar? Bertanya sudah berapa banyak ikan-ikan kecil yang ia hempaskan? Dan bertanya hal menarik lainnya. Beberapa jam kami bermain, ia menyuruhku pulang—kembali ke bibir pantai. Akan beresiko berlama-lama di tengah laut. Ia mengembalikanku dengan sekali sapuan. Whusss...tunggulah, Tuan, aku akan kembali.
Esok pagi, aku diam-diam menghampiri. Angin kencang itu membantu tubuhku tiba di tengah laut dengan mudah. Ku tunggu ia tiba, sudah hampir tengah hari tak jua ada. Kuputuskan kembali ke darat. Namun kau tahu, disaat langkahku hampir sampai di bibir pantai, ombak besar datang. Menggulungku tanpa ampun. Aku meringis kesakitan. Mengapa ia menjadi jahat dalam sekejap? Kakiku keram. Tak mampu melawan. Usaha untuk berenang sia-sia. Ia terlalu kuat membawaku menuju tengah laut.
Di sinilah aku sekarang, menjadi batu karang bersama ikan-ikan yang dulu ia hempaskan. Andai waktu bisa terulang, tak akan mudah aku tergoda. Lebih baik menikmati ombak dari pinggir laut, daripada harus menghampiri dan mati tenggelam.


Untukmu, intermezzo-ku-dulu.

Senin, 16 Oktober 2017

Pesan Bulan Lima

Pesan panjang yang kau ketik untukku telah kubaca. Kenapa? Apa kau tidak cukup berani untuk membuat keputusan ketika mata saling bertemu?  Di depanku kau sangat pandai menyembunyikan bom waktu. Membuatku tak sadar dan terlena untuk terus menyakitimu. Saatnya tiba, kau menemuiku untuk memutar arah. Tak melibatkan aku dalam perjalanan selanjutnya.


Hai, apa kabarmu?
Aku rindu. Maaf masih saja menganggu. Bisakah kita bertemu? Pertemuan terakhir menyisakan tanya. Maksudku, hanya aku yang banyak bertanya. Padahal dahulu kau sedang cerewet-cerewetnya. Temuilah aku, penuhi janjimu bahwa kita masih bisa menjalani hubungan yang lebih sederhana; sebagai teman. Aku tahu, pertemuan kemarin membuat senang kau dan aku, bukan? Kau sendiri yang bilang. Namun, aku terdiam saat kau bertanya sambil bersandar “bagaimana perasaan kekasihmu bila tahu kau masih menemuiku?”.
Aku bersyukur mengetahui kabarmu yang baik-baik saja. Seperti saat ini, walau kabar baikmu juga membawa pesan berbeda, tatapan hangat yang dulu tak lagi ada, dimana salahku? Kau sendiri sudah bahagia, bukan? Kau bertanya apa kekasihku sekarang membuatku senang? Tentu iya. Lalu, dimana salahku? Tak perlu dipungkiri, kau menghindar! Kau secara sadar menyakiti dan meninggalkan aku sendiri. Kau juga yang lebih dahulu memantapkan diri untuk memulai hari yang baru. Saat kau tahu aku mulai bahagia dengan hidupku kini, perlahan bayangmu menjauh. Inikah yang kau maksud berteman?
Aku belajar merelakan. Kesalahan-kesalahan dahulu membuat ku sadar untuk tidak lagi menyakiti. Bayangkan saja, kau yang menghapus cerita dan aku yang tetap menginginkan sebuah jumpa. Kenyataannya kau melenyapkan dirimu dalam kisah kebahagiaan yang kau buat. Aku tahu, dengan atau tanpa aku sekalipun, kau akan tetap baik-baik saja. Kau simpan rapat-rapat, tidak kau deklarasikan pada khalayak. Diujung harap aku berdoa semoga kau mendapat hal layak untuk masa depanmu kelak.


“Tak bisa lagi aku menyapamu sebebas dulu.
Tak bisa lagi aku menatapmu sehangat dulu.
Tak bisa lagi jemari kita bertemu untuk sejenak melepas rindu.
Terimakasih untuk pertemuan singkat, meski tak ada lagi percakapan di dalamnya.
Dan perihal pintaku pada-Nya; agar kamu selalu bahagia, akhirnya tak lagi menjadi sia-sia”

Langit yang sedang cerah-cerahnya.


2017

Menjebak Diri Sendiri


Buatlah jebakan indah hingga dia mengingkanmu tanpa berpikir untuk pergi.

Jika kau menyukai seseorang karena ia tampan, kau hanya penggemar.
Jika kau menyukai seseorang karena ia baik, kau hanya terkesan.
Jika kau menyukai seseorang tanpa berniat memiliki, orang itu pasti aku.

Hujan, senja, dan segelas coklat panas selalu menjadi hal membahagiakan. Bagaimana tidak sempurna ketika tiga elemen yang menjadi media otakku untuk mengenang kau yang sedari dulu ku kagumi secara rahasia. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia seniorku.
Tahun kelulusan baginya tiba. Kabar yang ku dengar ia melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Tahun berganti tahun. Aku hanya tau sekilas kabarnya dari media sosial. Tak pernah berinteraksi sampai suatu keadaan membuat kami berbasa-basi, sekedar bertanya kabar, dan memutuskan untuk bertemu.
Singkat saja, pertemuan pertama kami berbincang mengenai hal-hal konyol yang ia lakukan di masa sekolah dahulu. Aku ingat betul goresan senyum yang tersirat ketika kami membahas perasaan. Menjebak diri ku sendiri untuk masuk ke dalam celah itu. Tidak ada respon yang berarti darinya. Ia anggap pernyataanku sebuah guyonan. Aku tertawa, ia tertawa. Senja datang, aku pulang. Berharap esok segera datang untuk mempertemukan kami kembali. Beberapa bulan berlalu, ku lihat ia memposting foto bersama seorang perempuan, cantik, desahku. Aku tak mungkin cemburu pada hal yang telah kami sepakati. Berjanji tidak akan melibatkan perasaan lebih intim dari sekedar teman biasa.
Pertemuan kedua, entah bagaimana semesta membuat kami jumpa lagi. Melepas semua rindu yang mungkin hanya aku yang merasa. Senja datang, aku tidak pulang. Mengulur waktu sampai malam, membahas semua hal, sampai perasaan dan lagi-lagi ia anggap sebuah guyonan. Bukan, bukan aku tak tahu malu berulang kali menyampaikan perasaan, hanya saja memendam sungguh menyesakkan. Aku perlu menyalurkan tanpa meminta balasan. Terpenting, ia tahu aku menyukainya. Kami melanjutkan pembicaraan sampai tengah malam, ku lihat ada banyak pesan masuk--dari seseorang--. Maaf sayang, malam ini aku tidak pulang.
Pertemuan ketiga, terimakasih semesta selalu mendukung. Hujan malam itu cukup deras. Dan selanjutkan adalah hal-hal yang tak bisa kujelaskan.

Ambisi membuatku gila. Berkorban tanpa diminta. Memberikan begitu saja tanpa memikirkan segala konsekuensi selanjutnya. Aku dan ambisi. Kau mencintai kekasihmu, begitupun aku mencintai kekasihku, dan berambisi padamu. Ketika tangan ini menyatu, aku bertanya bagaimana kabar kekasihmu? Baik-baik saja, jawabmu datar. Sebotol air mineral yang terus aku teguk tak membuat dahaga ini hilang. Kami melanjutkan obrolan, sampai aku bertanya lagi apa kau yakin akan menikah dengan kekasihmu saat ini? Suara pelan namun tegas, ia menjawab ‘tidak’. Aku diam, tidak bertanya lagi. Membiarkan euphoria kupu-kupu melintas tinggi di atas. Berusaha terbang menuju awan. Sampai ia sadar bahwa sayap indahnya memiliki kemampuan terbatas. Ia berhenti di pucuk dedaunan, melihat pemandangan sekitar dan melanjutkan perjalanan. Entah kemana tujuan, entah sampai kapan ia harus terbang, pagi hingga malam, terus bergerak sampai semua daun yang ia hampiri perlahan mati bahkan sebelum sempat ditapaki. Dengan kedua sayap yang melebar di atas pegunungan, kupu-kupu itu bergumam ‘aku menjebak diriku sendiri’.


Aku sadar suatu saat pertemuan ini tak akan terjadi lagi.
Bukan kau atau aku yang meminta,
tapi sosok lain yang menyadari, dan meminta semua hal ini disudahi.
Ia memaafkanmu, memohon aku untuk menjauh.
Kekasihku tak tahu, bahwa aku sebegitu nista.
Sekarang, berbahagialah dengan pasangan masing-masing.
Kau pahit manis yang harus ku akhiri.



-Akhir September-

Sabtu, 23 September 2017

Sebuah Usaha Melupakan dan Merayakan Kehilangan

Kamu memutuskan pergi dan berhenti menunggu. Karena bagimu aku bukan sesuatu yang pasti—meski di dalam hatimu, katamu aku tak akan terganti.
Dulu saat kamu mencintaiku, aku selalu punya seribu cara menjauh. Tapi, kamu selalu tabah. Bagimu, luka yang kuberikan menjadi nama lain dari kebahagiaan. Kamu terus kembali—kembali lagi. Sampai akhirnya aku lelah—sampai kamupun lelah.
Kini, aku tak lagi punya cara untuk memintamu kembali. Karena mungkin, saat ini kamu mati-matian berusaha melupakanku.
***
Aku pergi. Tapi sebelum pergi ajari aku untuk melupakanmu dengan sempurna agar langkahku tak lagi berat.
Karena rindu atas namamu membuat sekujur tubuhku melemah.
Semoga luka karenamu ini lekas mengering.
Aku senang, kamu sudah bersamanya sesaat sebelum meninggalkanku.
Jadi, kamu tidak merasa kesepian, bukan? Tidak merasakan kehilangan seperti yang saat ini aku rasakan.
***
Semuanya menjadikan seolah kau yang terluka. Teruskanlah ambisimu itu. Aku tak akan menahanmu. Aku cukup paham bahwa semua orang punya tujuan. Dan, ternyata memang yang kau inginkan bukan hal yang sejalan dengan yang aku impikan. Aku pelan-pelan menata langkah untuk tetap bersama, kau diam-diam menyalakan bara dan membakar semua cerita.
Sekarang aku merelakanmu dengan hal yang membuatmu pergi. Kita hanya perlu menunggu waktu. Hari ini kau telah menanam segala luka. Kelak, entah kapan, percayalah, bisa jadi yang kau perjuangkan dengan cara seperti itu, menjadi menyebalkan dan menghempaskanmu melebihi apa yang kau lakukan kepadaku. Barangkali kau melupakan satu hal. Mencari kebahagiaan dengan cara merusak kebahagiaan orang lain adalah yang tak akan bertahan lama. Pada saatnya, kau akan mengerti dan menyesal atas apapun yang membuatmu tergoda. Nyatanya hanya bentuk lain dari luka yang sebenarnya.


Boy Candra, 2016

(Bukan) Sepotong Hati yang Baru

Terinspirasi oleh judul buku best seller Sepotong Hati yang Baru karya Tere Liye. Buku yang menceritakan tentang kumpulan fiksi legenda yang berulang kali aku baca. Ia yang membelikan aku novel ini. Aku suka membacanya, tapi sayang, karena dia bukan lagi sepotong hati (ku) yang baru.

17.07 p.m
17 Agustus 2017
Senja selalu saja menghadirkan kisah berbeda setiap harinya. Dan kali ini, aku menikmatinya dengan mendengarkan musik instrumental dan segelas coklat panas. Yiruma – Rivers Flows In You menjadi favorite di sore ini. Lantunan instrumen indah pianis memberi stimulus untuk membuat tulisan yang akan sedikit menyedihkan. Kau tahu, banyak cara untuk seseorang menyimpan memori yang pernah ia rasakan. Ada yang menyimpannya hangat dalam kotak berisi kumpulan foto, ada yang membuat lagu, puisi maupun tulisan.
Kenangan; terdiri dari barisan huruf yang mempunyai makna tersendiri bagi si Pengenang. Momen suka, duka, hangat, jelek, buruk, bahkan tragis sekalipun tetaplah kenangan. Semua tersimpan rapih dalam kubikal kecil di hati. Dan tanpa bermaksud ingin mengulang, sayang, maka biarlah aku mengenang.
***
            Mentari pagi sudah menyibakkan cahaya hangatnya menembus jendela kamar saat itu. Pukul 09.00 aku terbangun. Membuka selimut dan mengambil segelas air hangat. Bandung pagi selalu indah. Sapaan lembut selamat pagi ku terjawab dengan senyuman tipis. Ia masih mengantuk rupanya.
Kuputuskan untuk mandi lebih dulu, karena aku akan mengelilingi beberapa wilayah di kota ini. Tentunya tidak sendiri. Menaiki becak untuk menuju tempat pertama. Mencari sarapan dan berkeliling dengan jalan kaki. Aku berfoto-foto. Menikmati keindahan kota romantis. Dan benar, itu akan selalu. Selanjutnya kami melakukan perjalanan ke tempat lain dengan menggunakan mobil online yang kami pesan. Lelah menjelajah dan membeli beberapa oleh-oleh, pukul 17.00 kami tiba di Stasiun Bandung untuk pulang ke Jakarta.
Aku mencoret satu nama kota destinasi dalam bucket list-ku. Semoga semua nama tempat dalam notebook kecil ini bisa tercoret, tentunya bersama-mu. Hari terus berganti, aku yang semakin menyayanginya namun rasa takut akan kehilangannya pun semakin besar. Sejak lama aku sering bercerita kalau aku suka mendapat mimpi ia memiliki perempuan lain. Maksudku, ia menyayangi perempuan lain. Entah karena alasan apa, ia meninggalkanku. Aku selalu menangis ketika nightmare itu terjadi. Bukan hanya satu atau dua kali, namun lebih. Setiap aku bercerita, ia selalu menenangkan, ‘mimpi hanya mimpi, jangan kau anggap serius’. Tetap saja, berulang kali mimpi itu terjadi. Sampai suatu ketika, itu benar terjadi.
***
Akhir 2014, saat aku bersamanya, aku lupa menghapus chat dengan cowok lain. O..ow aku ketahuan. Ia marah dan hanya diam. Mengajakku keluar untuk membicarakan hal itu. Ia bertanya sejak kapan dan sudah sejauh mana kami-aku dan orang ketiga- berjalan. Aku menjawab seadanya. Sampai tulisan ini dibuat, aku tidak berani untuk mengingat jelas kejadian itu. Ia meraih tanganku, meminta untuk menatap matanya dan menjelaskan semua. Kau tahu ada hal yang membuat ku menangis, bukan karena aku ketahuan, bukan karena aku harus meninggalkan orang yang sudah masuk dalam hubungan kami, namun ketika malam itu, ia menggenggam tanganku semakin erat dan bertanya;
“Apa kurangnya aku? apa yang aku gak punya sampai kamu bisa kayak gini?”.
Seketika airmata turun tanpa bisa kutahan. Kulihat ia kuat-kuat menahan butiran hangat di ujung mata.
“Aku udah firasat, ini bakal terjadi. Aku selalu nampik sampai aku baca sendiri chat kalian udah sejauh itu. Aku mohon, kamu tinggalin dia. Kita mulai dari awal tanpa ada orang ketiga.”
Apa yang sudah kuperbuat bukanlah hal yang patut ditiru. Itu bukan hal pertama, ada kedua atau lebih dengan inti yang sama namun cerita berbeda. Dan berulang kali aku meminta maaf, dan lagi-lagi ia memaafkan. Tidak jarang ketika marah aku memaki-makinya secara langsung ataupun lewat ponsel. Sering kami bertengkar, selalu ia yang mengalah. Terbuat dari apa hati lembutnya itu. Tidak pernah ia membentakku apalagi memukul. Yang aku tahu, ia menyayangiku dan akan selalu begitu.
Ia yang selalu pulang kerja terburu-buru saat aku mendadak mengabarkan bahwa aku datang ke rumahnya. Ia yang membelikan ku jam tangan namun aku lupa menaruhnya dan hilang. Ia yang akan membelikan apa yang aku bilang, padahal aku hanya bercerita, demi tuhan aku tidak memintanya untuk membelikan barang yang aku butuhkan. Ia yang akan menjelaskan dengan sangat detail ketika tidak ada kabar seharian. Ia yang selalu bercerita tentang segala hal. Ia yang selalu tidak tahan untuk tidak membeli barang yang ia ingikan, dan ku anggap itu mahal. Ia juga yang terkadang memintaku ke warung untuk membelikan rokok-ini konyol dan nyebelin sih-. Ia yang selalu memberikan dompetnya ketika kami makan, nonton, atau berbelanja. Untuk hal ini, ia tidak pernah membayar sendiri, selalu setiap kami hanging-out, ia menyuruhku yang membayar dengan uang/kartu dari dompetnya. Jangan mengira aku matrealistis, kami saling berbagi untuk membayar. Entah mengapa dari dulu aku hanya tidak enak kalau senang-senang bersama tapi hanya diam dan tidak ikut andil. Ya kau tahu kan, ada orang-orang yang cuma maunya kenyang, senang dan hanya diam.
***
Hubungan kami mulai merenggang sejak kejadian akhir tahun 2014 itu. Kepercayaannya pada ku sedikit demi sedikit berkurang. Ia semakin posesif. Aku mempunyai jam malam, tidak boleh menginap di rumah teman, dan hal-hal larangan lainnya. Ku kira semua itu wajar, ia takut aku berulah lagi. Bulan dan tahun saling berganti. 2016, aku merasa tidak banyak kemajuan pada hubungan kami. Ditambah aku yang sering berbohong. Mengapa aku harus berbohong? Karena bila jujur, ia akan marah dan mendiamkan ku.
Aku pernah membaca sebuah kalimat ‘Jika kamu menyukai yang pertama dan jatuh cinta pada yang kedua, pilihlah yang kedua, karena jika kamu benar yakin pada yang pertama, kau tidak akan jatuh pada yang kedua’. Apakah suatu saat nanti kami tidak akan bersama-sama lagi? Apakah bahagia kami bukanlah kami? Maksudku, jika di antara kami dibuat bahagia oleh orang lain, apakah kami akan memilih orang lain tersebut atau mempertahankan yang kami punya?.
***
Aku ini perempuan egois, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Tapi ia selalu sabar menghadapi semua sifat dan sikap burukku. Tidak jarang, setiap kami bertengkar, aku mengancam untuk putus. Namun tidak pernah sekalipun kata putus ia ucapkan. Hal-hal sepele selalu aku permasalahkan.  Semua salah yang aku lakukan, selalu ia maafkan.
Kesabaran, rasa takut kehilangan, dan rasa sayangnya padaku membuatku besar kepala. Kelemahannya padaku menjadi senjata bagi diriku yang secara tidak sadar untuk menguasainya. Sampai pernah dengan angkuh aku berkata ‘apapun yang aku lakukan nanti ia tidak akan meninggalkanku’.
Dan itu salah, pertengahan Mei 2017, ia memutuskan untuk pergi.
Berbagai cara aku lakukan untuk memintanya kembali. Aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang tidak ia sukai. Aku akan menjadi seperti yang ia minta. Aku berjanji tidak akan berbohong lagi. Dan bodohnya, air mata ini selalu turun dengan mudah. Padahal aku tahu ia tidak suka melihatku menangis. Aku tidak menyerah karena aku yakin kami akan bersama-sama lagi. Ini saatnya aku yang berjuang untuk mempertahankan hubungan kami. Ironis bila kau tahu bagaimana kacau yang aku rasa. Ia tetap pada pendiriannya. Memintaku untuk memperbaiki diri, menjadi lebih baik untuk oranglain nanti. Memintaku untuk mulai menghargai dan tidak menyepelekan rasa sayang yang diberikan nanti.
Kita masih bisa berteman.”
Aku pasrah, menyerah, dan kalah. Andai ia tahu, seburuk apapun dulu hal yang ku lakukan tanpa ia tahu, aku selalu mempertahankan hubungan kami. Dan hal ini membuat ku sadar, menjaga hubungan dan mengotorinya secara bersamaan adalah salah.
Dan ia melakukan hal benar, meninggalkanku untuk membangun hubungan baru.
***
Sudah lama kami tidak sejalan
Aku saja yang tidak sadar
Aku dengan egoku
Kau dengan sabarmu
Sampai kau lelah dan tak tahan
Memilih pergi demi kebaikan kau dan aku, katamu
Aku setuju, asal kau berjanji akan bahagia
Terimakasih sudah menjaga
Terimakasih pernah menerima
Aku merelakan mu untuk perempuan lain,
yang telah sabar menunggu dan merawat lukamu sejak dulu.








Intuisi


Mungkin bisa dari sini, prolog indah yang ku rasa. Berulang kali aku dibuat jatuh cinta. Degup aneh ketika bertemu itu terus ada. Ia yang selalu aku tunggu kabar setiap harinya. Kami mempunyai mimpi yang sama. Bahagia.
2017, tahun ke-lima.
Banyak pengorbanan, air mata, kebahagiaan, tuntutan, bahkan kehadiran pihak yang tidak seharusnya hadir.
Bukan ia yang datang, tetapi aku yang meminta-nya memasuki pintu.
Bukan salah mu, bukan juga salah-nya. Dan ego-ku menyebut, ini juga bukan salahku.
Kau tahu, aku tidak meminta mu sempurna, aku tidak meminta kau selalu ada. Karena bagi ku, ‘selalu ada’ takkan pernah ada.
Kau tahu, aku menghargai kesibukan mu, dunia mu, teman-teman mu. Hingga kau lupa satu hal, kesibukan mu mengabaikan seseorang. Kau tentu tak sadar, sampai ia datang. Bertanya kabar. Ciptakan debar.
Ia tahu aku memiliki mu. Tanpa ku jelaskan, tanpa perlu ia bertanya. Berita burung yang ia dengar, aku sedang kacau. Padahal tidak, aku (mencoba) baik-baik saja.
Entah bagaimana cerita awal elegi ini. Aku yang meminta kau pergi atau aku yang melarikan diri?
Kau pun sama, bukan? Tidak menahan. Baik, ku anggap ini selesai.
***
Waktu berjalan, melewati hari sendirian. Langkahnya membayangi setiap langkah ku. Sampai saatnya kami sejajar, aku berhenti. Meminta ia berjalan lebih dulu. Kau tahu, intuisi ku masih menunggu.
Dan kepada-nya, kau tak perlu menunggu. Memulihkan kekecewaan bukan hal mudah. Dan aku, tidak ingin kau kecewa.
Terimakasih telah menjaga. Keluarlah, aku akan mengunci pintu. Tak perlu kau risaukan.
Pergilah.


--Intuisi-ku masih menunggu--

May 18, 2017.

The Unexpected Curug Cibeureum

Happy weekend sobat senja.
Beberapa waktu lalu (3/09/17) saya, bae, dan dua rekan lainnya berwisata dadakan ke kawasan Cibodas – Jawa Barat. Sebut saja kedua teman saya adalah Susan dan Dimas. Mereka adalah pasangan yang terjebak keadaan. Eh maksudnya mereka saling nyaman padahal masing-masing dari mereka sudah berpasangan. Haha skip.
Kami berangkat pukul 02.00 dini hari. Dengan menggunakan sepeda motor, kami menyusuri jalanan kawasan puncak dengan santai diselimuti hembusan angin yang menusuk-nusuk hangat. Sambil meluk yang bawa motor maksudnya he he. Tiba di Cibodas sekitar pkl 04.00. Kami rehat di salah satu warung yang saya rekomendasikan. Kebetulan sebelumnya pernah istirahat di warung yang sama. Adzan Subuh, saya, bae, dan Dimas sholat subuh jamaah di masjid terdekat. Susan sedang berhalangan, maka ia menjaga barang bawaan kami di warung tersebut. Sempat terpikir untuk menyewa villa/hotel. Apalagi ada aplikasi yang mempermudah pemesanan kamar secara online. Tetapi setelah dirundingkan, kami memilih tidur di warung saja. Jauh lebih ekonomis juga. Hanya dikenakan charge Rp 15.000/org.
Teman-teman tertidur pulas. Saya tidak tidur dan memilih melihat sunrise di luar. Pemandangan tinggi gunung Gede Pangrango menjadi landscape favorite pagi itu. Sebelumnya kami mencari referensi tempat wisata di Puncak:
ü  Taman Bunga Nusantara
ü  Taman Matahari
ü  Little Venice
ü  Kebun Raya Cibodas
“Itu gw udah semua, yang lain deh.” Protesku.
Karena sudah terlanjur berada di atas, kami memutuskan untuk hiking ke curug Cibeureum. Sempat browsing di mbah gugel mengenai seluk beluk curug dan jalurnya. Dan saya pikir mungkin sama seperti curug biasanya. Leuwi hejo, bidadari, curug nangka, dan lainnya yang pernah saya kunjungi. Treknya mungkin tidak terlalu berat, batinku. Dengan penuh percaya diri, kami siap menuju puncak Cibeureum. Jarak dari pos pertama (pos tiket) adalah 2,7km dengan waktu tempuh 45menit - 1jam normal perjalanan. Nyatanya kami butuh 1,5jam untuk tiba di curug. Awalnya saya sangat antusias, sampai di tengah perjalanan saya mulai ngos-ngosan. Jujur saya pecinta alam, tapi yang naik gunungnya nyuruh orang. Maksudnya, saya nggak kuat kalau harus naik gunung beneran. Nafas saya seperti terbatas untuk summit gunung. Daaannn....curug ini punya trekking ter-paraaaahh versi saya. Jalurnya sangat jauuuh. Kami banyak istirahat, jumpa dengan pengunjung lain yang pada selonjoran kaki. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak kecil yang ikut. Saya merasa it’s very challenging. Moso saya kalah sama anak kecil? Akhirnya saya terus berjalan, walau memerlukan bantuan.
“Aku gak kuat. Dorong aku dong!” pintaku sambil berjalan kecil.
“Nyusahin ngajak lumba-lumba ke gunung.”
Sepanjang jalan, saya bersama bae. Teman saya juga berduaan di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan. Saya dan bae banyak bercerita dan tertawa kecil. Pokoknya jangan sampe saya bengong, nanti capek! Kami melewati Telaga Biru, dan berfoto. Kemudian sekitar 100 meter dari sana kami melewati Rawa Gayonggong. Disini ada papan petunjuk arah untuk pengunjung. Arah kanan adalah arah menuju Curug Cibeureum dan arah kiri menuju Gunung Gede Pangrango. Tertulis 10,5KM untuk menuju Gunung Gede. Pikiran saya waktu itu, GILA HEBAT YA ANAK GUNUNG. Trekking curug saja aku banyak mencuit. Jiwaku memang laut, bukan gunung. Eaaa.
90menit, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Huaaaah...worth it. Air curug yang seperti curug. Terdapat dua curug. Yang satu tinggi dan satu lagi sedikit rendah. Sebenarnya ada tiga curug, tapi yang satu lagi tersembunyi. Dingin. Padahal saya menyiapkan baju ganti, tetapi niat untuk mandi diurungkan, karena sudah lelah. Saya hanya bermain cipratan air, gagal jadi lumba-lumba curug euy. Di curug yang tinggi, saya melihat pelangi di kaki air. Wah, ada bidadari lagi mandi kali yaa.
Setelah di rasa cukup dengan aktivitas per-curug-an, pukul 11 siang kami turun. Persediaan air habis, sekitar 200 meter berjalan, saya membeli air mineral. Sebotol dibandrol harga Rp 10.000.
“Yah kok mahal mang?” godaku pada penjual.
“Saya naik-naik kesini. Lihat perjuangannya atuh neng.” Jawab si mamang sambil ketawa.
Yeeeu...setidaknya diriku pernah berjuang~
Jam 12.00 kami tiba kembali di titik nol Cibodas. Kaki ku pegal-pegal dan kami memutuskan untuk take a nap di warung awal. Jam 14.00 kami kembali menuju rumah masing-masing. Setibanya di rumah, kedua kaki saya memerlukan setengah tube krim otot pegal linu.
Point of view saya pribadi adalah perbanyaklah jalan-jalan. Walaupun betah di rumah adalah sunnah. Tetapi perlu juga-loh tidak membatasi diri. Mengeksplor lebih jauh dan berkontemplasi dengan alam. Alam itu luas. Allah menciptakan semesta dengan keindahan-keindahan di dalamnya dan untuk dinikmati. Jangan menjadi vandal. Cintailah yang ada di bumi maka langit akan mencintaimu. Satu hal lagi, jangan tinggalkan apapun selain hembusan CO2 heheheheh.


Get in touch, salam lumba-lumba.

Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...