Minggu, 18 Maret 2018

Desember di Jogja


Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak manusiawi membuatku memutuskan liburan di kota Gudeg, Jogja. Aku pergi bersama empat kawan, yakni Indri, Tyo (pacar Indri), Bang Junet, dan Ari. Terhitung tanggal 1,2,3 dan 4 Desember 2017. Ke empat temanku sudah lebih dulu berangkat, yakni siang hari pada tanggal 30 November. Karena harus bekerja di hari yang sama, aku menyusul dan berangkat seorang diri. Aku diantar oleh Lana, pacarku. Karena suatu alasan, ia tidak bisa menemaniku di Jogja. Kami tiba di stasiun Pasar Senen sekitar pukul 21.00wib. Ia membelikanku snack. Kami bercanda dan menghabiskan eskrim coklat kesukaanku. Tak terasa, petugas menghimbau para penumpang untuk segera menuju peron keberangkatan. Lana mengantarku sampai pintu utama. Saat beberapa baris sebelum petugas memeriksa kartu identitasku, aku memutarbalikkan badan dan langsung memeluknya.
‘Kamu baik-baik disana. Jaga diri ya.’
Saat itu perasaanku benar-benar sedih. Aku menangis saat berjalan di peron kereta.
‘Aku gak akan macem-macem. Murni buat liburan.’
Kereta berangkat pukul 22.45wib.

Jum’at, 1 Desember 2017
06.30wib
Akhirnyaaa.... Aku bernafas lega setelah kereta tiba dengan selamat di Stasiun Jogjakarta. Aku duduk dibangku tunggu penumpang, berkali-kali menghubungi teman-teman lainnya namun tidak ada satupun yang menjawab panggilanku. Sial, aku sendiri di kota orang dan hanya dibekali alamat rumah yang kami sewa. Aku menggunakan ojek online menuju tempat tersebut. Meski sempat kesasar, alhamdulillah salah satu temanku terbangun dan menunggu kedatanganku di depan jalan. Jarak tempat kami menginap sekitar 1,7km dari stasiun Tugu. Bangunan yang cukup luas, memiliki tiga kamar dengan AC, dapur, kamar mandi yang bersih, dan bertingkat untuk menjemur pakaian, cukup recommended jika nanti kami berlibur kembali ke kota romantis ini.
Aku tidak akan menceritakan detail wisata alam yang kami datangi. Aku akan bercerita bagaimana kota ini akan membuatmu ingin kembali lagi dan lagi. Akan terasa lebih menyenangkan jika kau datang bersama orang terkasih. Aku memang menikmati liburan ini, namun tetap saja liburanku akan lebih menarik jika kamu ikut menemani. Aku ingin berjalan berdampingan denganmu saat menyusuri Malioboro. Aku ingin kau yang memesan kopi arang dan aneka macam sate untuk kita makan saat malam. Aku ingin kau melihat bagaimana aku berdebat kecil dengan pedagang agar mendapat potongan harga. Aku ingin kau tahu bagaimana aku akan tetap bangun siang walau sedang liburan. Karena bisa bangun siang adalah harta yang paling berharga~ tidak tidak, aku rela bangun pagi buta untuk bisa menikmati sunrise di Gunung Kidul bersamamu. Aku ingin merasakan keindahan kota gudeg dengan aroma tembakau dari jemarimu.
Semoga kelak aku bisa kembali ke kota bakpia dengan hal berbeda. Tidak lagi menangis saat menaiki peron, tidak lagi duduk seorang diri di bangku kereta, tidak lagi menunggu kabar untuk dijemput. Karena kita akan berangkat bersama. Tentu kau yang akan membawakan tas backpackerku, kau yang akan memberikan bahu untuk kusandarkan selama 8jam perjalanan, kau yang akan membangunkanku saat kita sudah sampai ditujuan.
Walau bersamamu kini, aku tak banyak ingin kemana-kemana. Cukup duduk berhadapan dan mengobrol sampai kopimu dingin, aku senang. Namun jika bisa menikmati kopi hitam dan tentunya kopi susu kegemaranku ditempat nun jauh, mengapa tidak?

Bersyukur Disakiti


Aku bersyukur, jika dahulu kau disakiti oleh kekasihmu. Aku bersyukur karena dulu kekasihmu pergi dan meninggalkanmu sendiri. Mungkin sedikit tidak manusiawi, namun aku bersyukur semua hal itu menimpamu dulu. Bayangkan jika saat ini kau masih dibuat bahagia dan disayangi kekasihmu-yang dahulu-. Pasti bukan aku yang ada disampingmu, kan?  Pasti bukan aku yang berkunjung ke rumah dan bercerita dengan ibumu. Pasti bukan aku yang membimbing dan membantu adikmu mengerjakan tugas sekolah. Pasti bukan aku yang menyuapi saat kau malas menyendok nasi. Pasti bukan aku yang memarahi saat kau berulah dengan teman-temanmu. Pasti bukan denganku semua hal itu kita lewati, bukan?
            Kalau boleh jujur, aku ingin bertemu dengan kekasih—mantan kekasihmu--. Aku ingin melihat langsung wajah cantiknya. Bahkan aku ingin mengucapkan terimakasih. Berterimakasih telah menjagamu, merawat, dan menyayangimu dahulu. Aku ingin berterimakasih, karena ia telah menyakitimu. Aku bersyukur hal itu terjadi sehingga kau bisa bersamaku kini. Terkadang, aku ingin tahu bagaimana ia membahagiakanmu dulu. Apa saat ini hidupmu lebih bahagia denganku? Atau kau lebih bahagia saat bersamanya? Dua tahun bukan waktu yang singkat sayang, cukup banyak waktu yang kalian lalui.
Aku memintamu untuk menceritakan kisahmu saat bersamanya. Diawal kau menolak, namun aku tetap meminta dengan sedikit memaksa. Kau menatapku, aku tersenyum dan menganggukan kepala. Berceritalah, pintaku sambil tersenyum tipis. Sambil menyesap segelas kopi hitam dan membakar sebatang rokok, kau mulai bercerita. Aku mendengarkan dengan khidmat, hening, tenang. Tidak ada beban dan hanya perasaan lega saat kau membahas semuanya. Kupikir, kisahku belum sebanding dengan apa yang kau alami. Bahagiamu, sedihmu, semua kau jelaskan dengan tenang.
Apa aku cemburu? Tentu saja. Kau memilih kata dengan hati-hati, mungkin tidak ingin ada ucapan yang menyakiti. Aku tahu, kau sudah berdamai dengan semua rasa itu. Kau menuruti mauku. Kau hanya perlu tahu, aku tidak akan tersakiti dengan hal yang menyakitimu dimasa dulu, namun aku tersakiti jika ada hati lain yang menyakitimu saat kau sudah bersamaku saat ini.


Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...