Selasa, 17 Oktober 2017

Jangan Jadi Aku


Dulu dia bahagia bersamaku. Sampai kau datang, membuatnya bimbang. Kau bawakan ia hal-hal manis. Kau membuat jaring sedemikian indah, menyuruh kekasihku—saat itu—untuk bertamu, melihat-lihat hal yang sedang kau rakit untuknya. Ia lengah dan terjebak setiap harinya dalam perangkap manismu. Hubungan kami semakin hambar, berjarak dengan macam kesibukan. Ia menyerah padaku. Melepasku yang selalu menuntut tanpa pernah menurut. Ia datangi jaring yang menurutnya lebih indah dan megah. Dia pasti lebih baik, menurut kekasihku—saat itu--.
Aku bergerilya. Membuat gerakan bawah tanah. Kau terlena. Bukti nyata rasa itu masih ada. Hanya menunggu waktu sampai kapan kekasih barumu bisa bertahan? Andai ia tahu bagaimana kau saat bersamaku. Diam-diam mata bertemu, melirik tanpa melihat siapa kita kini. Walau tak banyak kata, aku tahu, ada debar yang dinamis.  Aku mengajukan sebuah tanya; kamu masih sayang aku?. Hitungan detik. Tak ada jawaban. Suasana sunyi sekali. Hanya suara rintikan air hujan yang menetes pelan, berusaha menenangkan genting yang basah tiba-tiba. Ia memelukku. Hitungan menit, tanpa sepatah kata terucap. Sempat aku bercanda “Tanganmu sangat bau rokok. Aku gak suka”. Dalam-dalam ku hirup aroma tembakau yang kurindukan. Hitungan jam, memori kembali menguap.

 Siapakah yang jahat? Siapakah yang tega? Kau, yang telah mengambilnya dariku dengan segala kemanisan yang kau hidangkan? Atau aku, yang telah ia lepaskan demi bisa bersamamu?

Setiap pertemuan yang tak pernah kau mulai. Namun kau juga tak pernah menolak ajakan untuk sebuah sapa. Aku masih saja merindu, dan kau yang selalu memelukku dalam sunyi. Tak banyak obrolan yang diceritakan. Ditambah aku tak ingin mendengar cerita-cerita barumu. Aku hanya ingin di sini, diam bersama sejuta rasa yang dulu dan sampai kini masih ada. Bukan aku besar kepala, bukan, hanya saja jika kau menjadi aku, kau akan tahu bagaimana merasa teduh ketika kedua pasang mata terpejam hangat setelah terkekang oleh sebuah keterlanjuran.

Aku ( Belajar ) Merelakan

Dua-tiga bulan sudah kulalui.
Mencoba bahagia dengan satu hati.
Aku senang kembali dicintai.
Tapi sial, bayangmu masih saja menghantui.

Mencoba menerima dengan lapang sebuah kepergian. Padahal baru kemarin kau menertawakan lelucon bodoh yang kukatakan. Baru kemarin kau menjanjikan hal manis yang akan kita bangun di masa depan. Nama untuk dua anak laki-laki dan satu anak perempuan kecil yang kusiapkan. Alam begitu cepat mengambil semua memori. Lebih dari dua ribu hari kita bersama. Sudah berapa banyak hal baru yang kita cipta? Setelah lebih dari seratus hari sejak keputusanmu untuk pergi, aku masih saja begini. Berulangkali memutar lagu yang memunculkan kau dalam ingatan. Lucu memang, kita yang sering bertengkar dan aku yang membesarkan hal-hal sepele. Ambek dan amarah kecil yang kulontarkan selalu kau anggap sebuah candaan. Aku ingat saat kita duduk saling berhadapan di sebuah tempat makan, aku sedang kesal. Sampai makanan tersedia, aku hanya diam. Kau makan punyamu, mengejekku dengan sebuah suapan yang menjengkelkan. Ah, aku sedang kesal, tapi aku lapar. Itulah salah satu cara sederhanamu untuk membuat mood roller-coasterku seimbang.
Namun kini, kau menghapus dan memutus semua kontak denganku. Aku tahu, itu semua perbuatan perempuan barumu. Harusnya ia cukup tahu diri untuk tidak membatasi privasimu. Atau ia lupa? Bahwa dirinya hanya sebuah keterlanjuran yang hadir dalam keretakan hubungan kau dan aku dulu. Begitu banyak makian yang ingin kutumpahkan untuknya, tapi aku sadar, jemari ini terlalu manis untuk merutuki sebuah pengkhianatan.
Aku rindu melihat kau memantik api pada sebatang rokok yang terselip di jarimu. Pelan kau hembuskan asap dan mengipas-ngipas agar tidak mengenai wajahku. Aku tertawa. Aku rindu semua hal yang tak dapat kujelaskan di sini. Aku menjaga perasaan-perasaan yang cepat atau lambat akan membaca tulisan-tulisanku. Berdamai dengan rasa kecewa terus aku lakukan. Menetralkan rasa sakit bukan hanya butuh waktu untuk sendiri, namun aku juga butuh pengganti. Perlahan ku buka hati untuknya. Seseorang yang kurasa lebih baik darimu. Aku menjalani hari bahagia yang baru. Ia merawatku dengan segenap ketulusan hati. Namun nurani dan ambisi ini tak bisakah seimbang? Lagi lagi aku kalah. Selalu kau menang dalam perang batin yang tak kuinginkan. Aku menyayangi kekasihku, dan ia tahu aku belum mampu melupakanmu, mantan kekasihku.
Hubungan ini rumit, aku, kau, pacarku dan pacar barumu. Maaf jika ada kata yang menyakiti, tapi bisakah semesta mengembalikan ia padaku saja? Tanpa pihak lain dalam cerita ini. Maaf, egoku sedang besar-besarnya. Kenyataannya hatiku belum mampu melepas. Hatiku belum mampu menerima. Hatiku belum mengerti sebuah keikhlasan dalam merelakan. Hatiku masih berpegang teguh pada ambisi untuk mengembalikan hal yang dulu aku miliki.


Dariku, yang masih belajar merelakan.
Jkt 2017

Ombak yang Menggoda

Awalnya aku hanya bermain di bibir pantai, mengubur kedua telapak kakiku dengan pasir. Membuat cetakan-cetakan istana kecil yang diperindah dengan batuan kering pinggir laut. Ombak-ombak datang, mengikis timbunan pasir dari kakiku. Aku berdiri. Pindah ketempat lain untuk menghindari ombak.
‘Hai, kemarilah!’. Aku mencari sumber suara. Tak kutemukan orang lain. Hanya ada aku. Ternyata, suara halus berasal dari ombak di tengah laut, ia melambaikan tangan, tersenyum hangat. Membuat ku ingin berlari menghampiri. Toh, tak akan  berbahaya kalau sedikit ke tengah, aku bisa berenang. Batinku.
Aku berlarian kecil menuju hal yang ku rasa menyenangkan. Kami bertemu dan aku menyapa lebih dahulu. Bertanya apa ia senang menjadi satu-satunya ombak paling besar? Bertanya sudah berapa banyak ikan-ikan kecil yang ia hempaskan? Dan bertanya hal menarik lainnya. Beberapa jam kami bermain, ia menyuruhku pulang—kembali ke bibir pantai. Akan beresiko berlama-lama di tengah laut. Ia mengembalikanku dengan sekali sapuan. Whusss...tunggulah, Tuan, aku akan kembali.
Esok pagi, aku diam-diam menghampiri. Angin kencang itu membantu tubuhku tiba di tengah laut dengan mudah. Ku tunggu ia tiba, sudah hampir tengah hari tak jua ada. Kuputuskan kembali ke darat. Namun kau tahu, disaat langkahku hampir sampai di bibir pantai, ombak besar datang. Menggulungku tanpa ampun. Aku meringis kesakitan. Mengapa ia menjadi jahat dalam sekejap? Kakiku keram. Tak mampu melawan. Usaha untuk berenang sia-sia. Ia terlalu kuat membawaku menuju tengah laut.
Di sinilah aku sekarang, menjadi batu karang bersama ikan-ikan yang dulu ia hempaskan. Andai waktu bisa terulang, tak akan mudah aku tergoda. Lebih baik menikmati ombak dari pinggir laut, daripada harus menghampiri dan mati tenggelam.


Untukmu, intermezzo-ku-dulu.

Senin, 16 Oktober 2017

Pesan Bulan Lima

Pesan panjang yang kau ketik untukku telah kubaca. Kenapa? Apa kau tidak cukup berani untuk membuat keputusan ketika mata saling bertemu?  Di depanku kau sangat pandai menyembunyikan bom waktu. Membuatku tak sadar dan terlena untuk terus menyakitimu. Saatnya tiba, kau menemuiku untuk memutar arah. Tak melibatkan aku dalam perjalanan selanjutnya.


Hai, apa kabarmu?
Aku rindu. Maaf masih saja menganggu. Bisakah kita bertemu? Pertemuan terakhir menyisakan tanya. Maksudku, hanya aku yang banyak bertanya. Padahal dahulu kau sedang cerewet-cerewetnya. Temuilah aku, penuhi janjimu bahwa kita masih bisa menjalani hubungan yang lebih sederhana; sebagai teman. Aku tahu, pertemuan kemarin membuat senang kau dan aku, bukan? Kau sendiri yang bilang. Namun, aku terdiam saat kau bertanya sambil bersandar “bagaimana perasaan kekasihmu bila tahu kau masih menemuiku?”.
Aku bersyukur mengetahui kabarmu yang baik-baik saja. Seperti saat ini, walau kabar baikmu juga membawa pesan berbeda, tatapan hangat yang dulu tak lagi ada, dimana salahku? Kau sendiri sudah bahagia, bukan? Kau bertanya apa kekasihku sekarang membuatku senang? Tentu iya. Lalu, dimana salahku? Tak perlu dipungkiri, kau menghindar! Kau secara sadar menyakiti dan meninggalkan aku sendiri. Kau juga yang lebih dahulu memantapkan diri untuk memulai hari yang baru. Saat kau tahu aku mulai bahagia dengan hidupku kini, perlahan bayangmu menjauh. Inikah yang kau maksud berteman?
Aku belajar merelakan. Kesalahan-kesalahan dahulu membuat ku sadar untuk tidak lagi menyakiti. Bayangkan saja, kau yang menghapus cerita dan aku yang tetap menginginkan sebuah jumpa. Kenyataannya kau melenyapkan dirimu dalam kisah kebahagiaan yang kau buat. Aku tahu, dengan atau tanpa aku sekalipun, kau akan tetap baik-baik saja. Kau simpan rapat-rapat, tidak kau deklarasikan pada khalayak. Diujung harap aku berdoa semoga kau mendapat hal layak untuk masa depanmu kelak.


“Tak bisa lagi aku menyapamu sebebas dulu.
Tak bisa lagi aku menatapmu sehangat dulu.
Tak bisa lagi jemari kita bertemu untuk sejenak melepas rindu.
Terimakasih untuk pertemuan singkat, meski tak ada lagi percakapan di dalamnya.
Dan perihal pintaku pada-Nya; agar kamu selalu bahagia, akhirnya tak lagi menjadi sia-sia”

Langit yang sedang cerah-cerahnya.


2017

Menjebak Diri Sendiri


Buatlah jebakan indah hingga dia mengingkanmu tanpa berpikir untuk pergi.

Jika kau menyukai seseorang karena ia tampan, kau hanya penggemar.
Jika kau menyukai seseorang karena ia baik, kau hanya terkesan.
Jika kau menyukai seseorang tanpa berniat memiliki, orang itu pasti aku.

Hujan, senja, dan segelas coklat panas selalu menjadi hal membahagiakan. Bagaimana tidak sempurna ketika tiga elemen yang menjadi media otakku untuk mengenang kau yang sedari dulu ku kagumi secara rahasia. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia seniorku.
Tahun kelulusan baginya tiba. Kabar yang ku dengar ia melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Tahun berganti tahun. Aku hanya tau sekilas kabarnya dari media sosial. Tak pernah berinteraksi sampai suatu keadaan membuat kami berbasa-basi, sekedar bertanya kabar, dan memutuskan untuk bertemu.
Singkat saja, pertemuan pertama kami berbincang mengenai hal-hal konyol yang ia lakukan di masa sekolah dahulu. Aku ingat betul goresan senyum yang tersirat ketika kami membahas perasaan. Menjebak diri ku sendiri untuk masuk ke dalam celah itu. Tidak ada respon yang berarti darinya. Ia anggap pernyataanku sebuah guyonan. Aku tertawa, ia tertawa. Senja datang, aku pulang. Berharap esok segera datang untuk mempertemukan kami kembali. Beberapa bulan berlalu, ku lihat ia memposting foto bersama seorang perempuan, cantik, desahku. Aku tak mungkin cemburu pada hal yang telah kami sepakati. Berjanji tidak akan melibatkan perasaan lebih intim dari sekedar teman biasa.
Pertemuan kedua, entah bagaimana semesta membuat kami jumpa lagi. Melepas semua rindu yang mungkin hanya aku yang merasa. Senja datang, aku tidak pulang. Mengulur waktu sampai malam, membahas semua hal, sampai perasaan dan lagi-lagi ia anggap sebuah guyonan. Bukan, bukan aku tak tahu malu berulang kali menyampaikan perasaan, hanya saja memendam sungguh menyesakkan. Aku perlu menyalurkan tanpa meminta balasan. Terpenting, ia tahu aku menyukainya. Kami melanjutkan pembicaraan sampai tengah malam, ku lihat ada banyak pesan masuk--dari seseorang--. Maaf sayang, malam ini aku tidak pulang.
Pertemuan ketiga, terimakasih semesta selalu mendukung. Hujan malam itu cukup deras. Dan selanjutkan adalah hal-hal yang tak bisa kujelaskan.

Ambisi membuatku gila. Berkorban tanpa diminta. Memberikan begitu saja tanpa memikirkan segala konsekuensi selanjutnya. Aku dan ambisi. Kau mencintai kekasihmu, begitupun aku mencintai kekasihku, dan berambisi padamu. Ketika tangan ini menyatu, aku bertanya bagaimana kabar kekasihmu? Baik-baik saja, jawabmu datar. Sebotol air mineral yang terus aku teguk tak membuat dahaga ini hilang. Kami melanjutkan obrolan, sampai aku bertanya lagi apa kau yakin akan menikah dengan kekasihmu saat ini? Suara pelan namun tegas, ia menjawab ‘tidak’. Aku diam, tidak bertanya lagi. Membiarkan euphoria kupu-kupu melintas tinggi di atas. Berusaha terbang menuju awan. Sampai ia sadar bahwa sayap indahnya memiliki kemampuan terbatas. Ia berhenti di pucuk dedaunan, melihat pemandangan sekitar dan melanjutkan perjalanan. Entah kemana tujuan, entah sampai kapan ia harus terbang, pagi hingga malam, terus bergerak sampai semua daun yang ia hampiri perlahan mati bahkan sebelum sempat ditapaki. Dengan kedua sayap yang melebar di atas pegunungan, kupu-kupu itu bergumam ‘aku menjebak diriku sendiri’.


Aku sadar suatu saat pertemuan ini tak akan terjadi lagi.
Bukan kau atau aku yang meminta,
tapi sosok lain yang menyadari, dan meminta semua hal ini disudahi.
Ia memaafkanmu, memohon aku untuk menjauh.
Kekasihku tak tahu, bahwa aku sebegitu nista.
Sekarang, berbahagialah dengan pasangan masing-masing.
Kau pahit manis yang harus ku akhiri.



-Akhir September-

Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...