Dulu dia bahagia
bersamaku. Sampai kau datang, membuatnya bimbang. Kau bawakan ia hal-hal manis.
Kau membuat jaring sedemikian indah, menyuruh kekasihku—saat itu—untuk bertamu,
melihat-lihat hal yang sedang kau rakit untuknya. Ia lengah dan terjebak setiap
harinya dalam perangkap manismu. Hubungan kami semakin hambar, berjarak dengan
macam kesibukan. Ia menyerah padaku. Melepasku yang selalu menuntut tanpa
pernah menurut. Ia datangi jaring yang menurutnya lebih indah dan megah. Dia
pasti lebih baik, menurut kekasihku—saat itu--.
Aku bergerilya.
Membuat gerakan bawah tanah. Kau terlena. Bukti nyata rasa itu masih ada. Hanya
menunggu waktu sampai kapan kekasih barumu bisa bertahan? Andai ia tahu
bagaimana kau saat bersamaku. Diam-diam mata bertemu, melirik tanpa melihat
siapa kita kini. Walau tak banyak kata, aku tahu, ada debar yang dinamis. Aku mengajukan sebuah tanya; kamu masih
sayang aku?. Hitungan detik. Tak ada jawaban. Suasana sunyi sekali. Hanya suara
rintikan air hujan yang menetes pelan, berusaha menenangkan genting yang basah
tiba-tiba. Ia memelukku. Hitungan menit, tanpa sepatah kata terucap. Sempat aku
bercanda “Tanganmu sangat bau rokok. Aku gak suka”. Dalam-dalam ku hirup aroma
tembakau yang kurindukan. Hitungan jam, memori kembali menguap.
Siapakah yang jahat? Siapakah
yang tega? Kau, yang telah mengambilnya dariku dengan segala kemanisan yang
kau hidangkan? Atau aku, yang telah ia lepaskan demi bisa bersamamu?
Setiap pertemuan yang
tak pernah kau mulai. Namun kau juga tak pernah menolak ajakan untuk sebuah
sapa. Aku masih saja merindu, dan kau yang selalu memelukku dalam sunyi. Tak
banyak obrolan yang diceritakan. Ditambah aku tak ingin mendengar cerita-cerita
barumu. Aku hanya ingin di sini, diam bersama sejuta rasa yang dulu dan sampai
kini masih ada. Bukan aku besar kepala, bukan, hanya saja jika kau menjadi aku,
kau akan tahu bagaimana merasa teduh ketika kedua pasang mata terpejam hangat setelah terkekang oleh
sebuah keterlanjuran.