Buatlah jebakan indah hingga dia mengingkanmu tanpa berpikir untuk pergi.
Jika kau menyukai seseorang karena ia
tampan, kau hanya penggemar.
Jika kau menyukai seseorang karena ia
baik, kau hanya terkesan.
Jika kau menyukai seseorang tanpa
berniat memiliki, orang itu pasti aku.
Hujan, senja, dan
segelas coklat panas selalu menjadi hal membahagiakan. Bagaimana tidak sempurna
ketika tiga elemen yang menjadi media otakku untuk mengenang kau yang sedari
dulu ku kagumi secara rahasia. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama duduk di
bangku sekolah menengah atas. Ia seniorku.
Tahun kelulusan
baginya tiba. Kabar yang ku dengar ia melanjutkan kuliah disalah satu perguruan
tinggi swasta di Jakarta. Tahun berganti tahun. Aku hanya tau sekilas kabarnya
dari media sosial. Tak pernah berinteraksi sampai suatu keadaan membuat kami
berbasa-basi, sekedar bertanya kabar, dan memutuskan untuk bertemu.
Singkat saja,
pertemuan pertama kami berbincang mengenai hal-hal konyol yang ia lakukan di
masa sekolah dahulu. Aku ingat betul goresan senyum yang tersirat ketika kami
membahas perasaan. Menjebak diri ku sendiri untuk masuk ke dalam celah itu.
Tidak ada respon yang berarti darinya. Ia anggap pernyataanku sebuah guyonan.
Aku tertawa, ia tertawa. Senja datang, aku pulang. Berharap esok segera datang
untuk mempertemukan kami kembali. Beberapa bulan berlalu, ku lihat ia
memposting foto bersama seorang perempuan, cantik, desahku. Aku tak mungkin
cemburu pada hal yang telah kami sepakati. Berjanji tidak akan melibatkan
perasaan lebih intim dari sekedar teman biasa.
Pertemuan kedua, entah
bagaimana semesta membuat kami jumpa lagi. Melepas semua rindu yang mungkin
hanya aku yang merasa. Senja datang, aku tidak pulang. Mengulur waktu sampai
malam, membahas semua hal, sampai perasaan dan lagi-lagi ia anggap sebuah
guyonan. Bukan, bukan aku tak tahu malu berulang kali menyampaikan perasaan,
hanya saja memendam sungguh menyesakkan. Aku perlu menyalurkan tanpa meminta
balasan. Terpenting, ia tahu aku menyukainya. Kami melanjutkan pembicaraan
sampai tengah malam, ku lihat ada banyak pesan masuk--dari seseorang--. Maaf
sayang, malam ini aku tidak pulang.
Pertemuan ketiga,
terimakasih semesta selalu mendukung. Hujan malam itu cukup deras. Dan
selanjutkan adalah hal-hal yang tak bisa kujelaskan.
Ambisi membuatku gila.
Berkorban tanpa diminta. Memberikan begitu saja tanpa memikirkan segala
konsekuensi selanjutnya. Aku dan ambisi. Kau mencintai kekasihmu, begitupun aku
mencintai kekasihku, dan berambisi padamu. Ketika tangan ini menyatu, aku
bertanya bagaimana kabar kekasihmu? Baik-baik saja, jawabmu datar. Sebotol air
mineral yang terus aku teguk tak membuat dahaga ini hilang.
Kami melanjutkan obrolan, sampai aku bertanya lagi apa kau yakin akan menikah
dengan kekasihmu saat ini? Suara pelan namun tegas, ia menjawab ‘tidak’. Aku
diam, tidak bertanya lagi. Membiarkan euphoria kupu-kupu melintas tinggi di
atas. Berusaha terbang menuju awan. Sampai ia sadar bahwa sayap indahnya
memiliki kemampuan terbatas. Ia berhenti di pucuk dedaunan, melihat pemandangan
sekitar dan melanjutkan perjalanan. Entah kemana tujuan, entah sampai kapan ia
harus terbang, pagi hingga malam, terus bergerak sampai semua daun yang ia hampiri
perlahan mati bahkan sebelum sempat ditapaki. Dengan kedua sayap yang melebar
di atas pegunungan, kupu-kupu itu bergumam ‘aku menjebak diriku sendiri’.
Aku sadar suatu saat pertemuan ini tak akan terjadi lagi.
Bukan kau atau aku yang meminta,
tapi sosok lain yang menyadari, dan meminta semua hal ini
disudahi.
Ia memaafkanmu, memohon aku untuk menjauh.
Kekasihku tak tahu, bahwa aku sebegitu nista.
Sekarang, berbahagialah dengan pasangan masing-masing.
Kau pahit manis yang harus ku akhiri.
-Akhir September-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar