Senin, 16 Oktober 2017

Menjebak Diri Sendiri


Buatlah jebakan indah hingga dia mengingkanmu tanpa berpikir untuk pergi.

Jika kau menyukai seseorang karena ia tampan, kau hanya penggemar.
Jika kau menyukai seseorang karena ia baik, kau hanya terkesan.
Jika kau menyukai seseorang tanpa berniat memiliki, orang itu pasti aku.

Hujan, senja, dan segelas coklat panas selalu menjadi hal membahagiakan. Bagaimana tidak sempurna ketika tiga elemen yang menjadi media otakku untuk mengenang kau yang sedari dulu ku kagumi secara rahasia. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia seniorku.
Tahun kelulusan baginya tiba. Kabar yang ku dengar ia melanjutkan kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Tahun berganti tahun. Aku hanya tau sekilas kabarnya dari media sosial. Tak pernah berinteraksi sampai suatu keadaan membuat kami berbasa-basi, sekedar bertanya kabar, dan memutuskan untuk bertemu.
Singkat saja, pertemuan pertama kami berbincang mengenai hal-hal konyol yang ia lakukan di masa sekolah dahulu. Aku ingat betul goresan senyum yang tersirat ketika kami membahas perasaan. Menjebak diri ku sendiri untuk masuk ke dalam celah itu. Tidak ada respon yang berarti darinya. Ia anggap pernyataanku sebuah guyonan. Aku tertawa, ia tertawa. Senja datang, aku pulang. Berharap esok segera datang untuk mempertemukan kami kembali. Beberapa bulan berlalu, ku lihat ia memposting foto bersama seorang perempuan, cantik, desahku. Aku tak mungkin cemburu pada hal yang telah kami sepakati. Berjanji tidak akan melibatkan perasaan lebih intim dari sekedar teman biasa.
Pertemuan kedua, entah bagaimana semesta membuat kami jumpa lagi. Melepas semua rindu yang mungkin hanya aku yang merasa. Senja datang, aku tidak pulang. Mengulur waktu sampai malam, membahas semua hal, sampai perasaan dan lagi-lagi ia anggap sebuah guyonan. Bukan, bukan aku tak tahu malu berulang kali menyampaikan perasaan, hanya saja memendam sungguh menyesakkan. Aku perlu menyalurkan tanpa meminta balasan. Terpenting, ia tahu aku menyukainya. Kami melanjutkan pembicaraan sampai tengah malam, ku lihat ada banyak pesan masuk--dari seseorang--. Maaf sayang, malam ini aku tidak pulang.
Pertemuan ketiga, terimakasih semesta selalu mendukung. Hujan malam itu cukup deras. Dan selanjutkan adalah hal-hal yang tak bisa kujelaskan.

Ambisi membuatku gila. Berkorban tanpa diminta. Memberikan begitu saja tanpa memikirkan segala konsekuensi selanjutnya. Aku dan ambisi. Kau mencintai kekasihmu, begitupun aku mencintai kekasihku, dan berambisi padamu. Ketika tangan ini menyatu, aku bertanya bagaimana kabar kekasihmu? Baik-baik saja, jawabmu datar. Sebotol air mineral yang terus aku teguk tak membuat dahaga ini hilang. Kami melanjutkan obrolan, sampai aku bertanya lagi apa kau yakin akan menikah dengan kekasihmu saat ini? Suara pelan namun tegas, ia menjawab ‘tidak’. Aku diam, tidak bertanya lagi. Membiarkan euphoria kupu-kupu melintas tinggi di atas. Berusaha terbang menuju awan. Sampai ia sadar bahwa sayap indahnya memiliki kemampuan terbatas. Ia berhenti di pucuk dedaunan, melihat pemandangan sekitar dan melanjutkan perjalanan. Entah kemana tujuan, entah sampai kapan ia harus terbang, pagi hingga malam, terus bergerak sampai semua daun yang ia hampiri perlahan mati bahkan sebelum sempat ditapaki. Dengan kedua sayap yang melebar di atas pegunungan, kupu-kupu itu bergumam ‘aku menjebak diriku sendiri’.


Aku sadar suatu saat pertemuan ini tak akan terjadi lagi.
Bukan kau atau aku yang meminta,
tapi sosok lain yang menyadari, dan meminta semua hal ini disudahi.
Ia memaafkanmu, memohon aku untuk menjauh.
Kekasihku tak tahu, bahwa aku sebegitu nista.
Sekarang, berbahagialah dengan pasangan masing-masing.
Kau pahit manis yang harus ku akhiri.



-Akhir September-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...