Minggu, 19 November 2017

TEMAN

Semua orang pada umumnya pasti mempunyai teman. Begitupun kamu. Saat aku memutuskan untuk menjalani kisah baru bersamamu, akupun ingin tahu seperti apa teman-temanmu. Seperti apa pergaulanmu. Seperti apa dirimu saat menghabiskan malam bersama mereka. Bukan aku ingin dikenal oleh temanmu, namun bagiku, sebagian cerminan diri adalah bagaimana kita berteman. Diawal kemarin, aku belum kenal dan bertemu dengan teman-temanmu. Aku hanya tahu komunikasi kalian melalui pesan whatsapp. Bukan sebuah kelancangan bagiku jika aku membuka handphone dan mengecek chatmu. Toh aku meminta ijin dan ia mengijinkannya. Satu pesan kubaca, ada istilah kata yang tidak kumengerti. Aku bertanya, “ini maksudnya apa?”. Bukan apa-apa, jawabnya singkat. Aku kembali membaca chat lainnya. Aku tertawa kecil saat melihat daftar kontak handphonenya hanya ada 10 nama. Itu semua nama laki-laki. Walaupun ada beberapa pesan dari nomor whatsapp yang tidak ia simpan, namun aku tahu itu juga chat dari teman laki-laki lainnya.

Waktu berjalan, aku selalu melakukan audit saat kita bertemu. Dan bertanya lagi, “chat ini maksudnya apa? Aku gak ngerti deh”. Lagi-lagi ia menjawab itu bukan apa-apa. Aku curiga, seperti ada hal yang disembunyikan. Lalu ia bercerita semalam pergi bersama teman-teman dan baru pulang esok paginya. Kau bergadang? Tanyaku sedikit menekan.
“Iya.”
“Bilangnya pulang jam 2?”
“Iya maaf. Jadinya pulang pagi.”
Aku merasa dibohongi. Memang sepele, maksudku kenapa ia tidak jujur saja. Tak perlulah berbohong karena takut aku akan marah. Aku terdiam.
“Ya udah gapapa”.

Aku terus memikirkan chat yang kemarin kutanya. Tiba-tiba aku teringat satu hal. Aku tahu maksud kode chat itu. Ku minta sore ini untuk bertemu. Kami duduk bersebelahan, kupesankan ia segelas kopi hitam. Kubiarkan ia menghabiskan satu batang rokok. Aku memulai pembicaraan. Kucoba untuk bertanya dengan sangat hati-hati dan berkepala dingin.
“Kamu mau cerita atau aku yang tanya?”
Sambil menyeruput kopi yang masih panas, ia menggeleng, tidak mengerti maksudku.
“Aku ngomong, kamu dengerin ya.”
“Aku tau maksud chat kalian waktu itu. Aku tau apa yang kalian bahas. Sejak kapan? Udah lama ya? Aku gak bakal marah. Apasih gunanya? Kamu bisa lakuin hal lain. Kalau capek, gak perlulah begitu. Sekarang jugakan ada aku, kamu harus berubah. Berubah lebih baik buat diri kamu. Sebab kalau kamu berubah karena oranglain dan disaat orang itu kecewain kamu, kamu akan kembali menjalani hidup yang dulu lagi. Aku ngomong panjang, kamu dengerin gak?.”
“Iya, denger.”
“Terus?”
“Aku coba. Semua butuh proses ya.”
Bukan itu saja, aku sempat memintanya untuk tidak merokok. Atau setidaknya dibatasi, tiga kali dalam sehari.
“Ah, yang bener kalo nanya. Orang makan aja sehari bisa empat kali.”
Aku terkekeh.

“Itu kalian chat bahas itu lagi.”
“Aku cuma nimpalin, nggak ikutan.”
“Kalau ditawarin?”
“Nolak lah, tapi kalau dicampur sama kopi yang kuminum mana aku tahu.”
Aku gemas. Kujawab dengan tegas “belum aja tempat main kalian aku acak-acak.”
Ia tertawa geli. Hidungku kembang-kempis. Hey, aku serius!

Setelah itu kau sering membawaku untuk berkumpul dengan teman-temanmu. Sedikit banyak aku mengetahui lingkar pertemananmu. Selagi hal yang kau lakukan tidak merugikan dirimu dan oranglain, aku pasti mendukung. Namun aku juga yang akan melarangmu jika kau berulah lagi. Bertemanlah dengan siapapun, tanpa mudah tergoyah, aku tahu kau punya niat baik untuk berubah.

Aku tidak akan berulangkali mengingatkan. Cukup sekali dan kau mengikuti. Aku tidak keberatan jika kau harus berbohong dalam setiap hal. Sebab kau akan merasakan suatu saat kebohongan-kebohongan itu yang akan memberi jarak pada sebuah hubungan, dan membuat satu diantara kita menghilang. Semoga kau paham, tuan.

Men(y)enangkan

Siapa yang tak bahagia disukai oleh orang yang kita sukai?
Siapa yang tak bahagia memiliki orang yang kita sayangi?
Aku merasa ditemukan. Setelah terjatuh pada hal yang membuat pikiran keruh, ia datang memberikan hal yang kubutuh; dicintai oleh sosok yang memang kuinginkan.

Selama ini, hanya satu lembar yang terus kubaca. Membolak-balik halaman yang itu-itu saja. Ketika aku mencoba membuka halaman baru, kau menemukanku; lembaran baru yang seharusnya kubaca.
Tanpa pernah kau bertanya seperti apa aku sebelum bersamamu saat ini, kau berani meyakinkan bahwa kau datang tanpa berpikir untuk meninggalkan.

Kalau kita udah gak bisa sama-sama lagi, itu karena alam dan waktu.”

Lelaki pendiam itu menatap mataku lamat-lamat. Berulang kali menghisap rokok yang terselip dijarinya. Ini sudah rokok ketiga. Asap kopi hitam yang ia pesan semakin menipis. Kami hanya diam untuk waktu yang lama. Aku memulai pembicaraan, bertanya satu-dua hal. Ia menjawab sekenanya. Aku tahu dengan siapa aku berbicara. Aku tahu harus seperti apa menghadapi sosok dingin di depanku saat itu. Tidak mudah membawanya masuk dalam perbincangan hangat saat senja. Ternyata canda yang kukeluarkan cukup ampuh membuatnya tersenyum dan tertawa.  

Hubungan ini memang masih seumuran jagung, namun sudah banyak hal yang kita lewati. Berawal saat kau mengenalkanku pada kedua orangtuamu, dan pertemuan-pertemuan baik berikutnya. Aku senang diterima dalam keluarga lain yang baru kukenal. Aku senang saat ibumu bercerita dan membuatku mengetahui lebih banyak hal tentang dirimu. Aku suka saat membantu ibumu merapihkan piring-piring sehabis kita makan. Aku suka menyiapkan bantal yang akan kau pakai tidur saat malam. Aku suka semua hal yang kita lakukan.

Kau tak perlu takut aku akan mencari kebahagiaan pada oranglain dan mencari-cari hal yang tidak ada didirimu. Akupun pernah berjanji, jika hubungan ini harus berakhir, kupastikan bukan karena pengkhianatan. Aku senang kau tidak mengekang, tidak juga melarang-larang. Kau bilang; Aku ini baru pacarmu, bukan suamimu, mana berani aku melarang atas hal yang ingin kau lakukan? Aku tahu kau perempuan dewasa, tahu mana yang baik dan tidak.

Singkat namun selalu kuingat. Kau melepasku dengan bekal kepercayaan yang kau titipkan. Sayang, aku tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti dulu. Karena kau menenangkan, karena kau menyenangkan. Walau harus aku yang pintar-pintar mencari pembahasan untuk kita bicarakan. Kau bukan tipikal orang yang akan memulai pembicaraan. Lagipula aku tidak keberatan untuk memberi umpan awal agar suasana menjadi lebih menyenangkan.

Kau selalu membuatku penasaran. Apalagi tatapan elang yang kau tunjukkan saat aku rewel bercerita, membuatku ingin menelanmu hidup-hidup. Kau juga hebat, membuatku menjadi perempuan sabar dan tidak mudah marah. Kau sosok pendiam yang selalu mencuri perhatian. Semoga rasa ini seimbang dengan pembagian 50:50. Semoga hubungan ini tidak berat sebelah. Bukan hanya aku atau kau saja yang mencinta, tetapi melibatkan kami berdua dalam menjalani kebahagiaan bersama. Jika dahulu aku berprinsip “kalau kita dibahagiakan orang lain, dan kamu setuju akan hal itu,  kamu boleh pilih dia”. Aku ingin mengubahnya menjadi “tetaplah disini, seburuk apapun kondisi yang kita hadapi”.

Aku senang saat duduk berdampingan denganmu; tuan pemesan kopi hitam.
Aku mau jadi teman minum kopimu sampai dingin.
Satu lagi, aku suka saat semesta dan hujan seolah bekerjasama untuk menahanmu, disini.

Rabu, 01 November 2017

RUMIT


Percintaanku rumit, dimulai dari aku dan ia yang membangun hubungan selama lima tahun, dan harus berakhir begitu saja. Lalu dengan cepat aku mengambil keputusan untuk menerima orang baru. Mencoba menyayanginya, membuat rasa nyaman saat bersamanya. Namun hanya kekosongan yang aku rasa. Hanya ia yang merindu, hanya ia yang banyak memberi waktu. Aku yang sering menghindar untuk sebuah pertemuan. Aku yang hanya marah-marah tanpa alasan. Dan kau tahu? Aku menjadi lebih egois dan pembangkang. Kubiarkan berhari-hari tanpa memberinya kabar, bermaksud untuk menciptakan debar dan rindu. Apakah ia sosok yang benar-benar aku inginkan? Lagi-lagi yang kutemukan hanya kekosongan. Keributan kecil dipikiran terus melayang; melanjutkan atau melepaskan.

            Bagaimana bisa aku menjalani sebuah hubungan dengan satu hati? Maksudku, hanya ia yang memberiku hati. Bagaimana bisa kami terus bersama jika pikiranku masih saja terbayang masalalu bersama tuan bajingan?. Walaupun ia menerima keadaanku yang belum berpindah hati, tetap saja hubungan seperti itu tidak akan sehat. Cepat atau lambat ia akan merasa sakit. Sebulan penuh aku pikirkan untuk melepasmu. Ragu dan yakin selalu berbisik ditelinga. Kuhela nafas panjang, dan kuputuskan untuk berhenti—darimu--.

        Kuakui, Februari 2016, aku menyukai seseorang secara diam-diam. Dan itu sudah lama sebelum aku mengenalmu. Awalnya aku hanya mengaguminya. Tidak memberi isyarat bahwa aku inginkan dirinya. Aku yakin ia hanya mengganggapku biasa-biasa saja. Daripada hatiku bertepuk sebelah tangan, maka aku anggap hanya suka-suka biasa. Waktu berjalan, kau tahu? Ia memberiku respon positif. Virus merah jambu menyerang dirinya. Selanjutnya adalah hal-hal yang nanti akan kutuliskan kembali.

MAAF


Aku menulis ini, untuk mengucapkan maaf dan terimakasih.
Kepadanya; yang memberikan banyak waktu untuk membahagiakan aku.
Terimakasih untuk tiga bulan terakhir.

Maaf jika aku menyakitimu, kau pun tahu dalam hidup ini perihal ditinggalkan atau meninggalkan pasti terjadi. Maaf jika kali ini aku menjadi orang yang meninggalkan dirimu. Aku selalu mencoba untuk memberi rasa kasih dan sayang kepadamu. Kucoba mensyukuri hadirmu. Kucoba menggenggam rindumu. Namun perasaaan-perasaanku tak dapat dibohongi; Aku merindukan seseorang.


Kau juga pantas bahagia, kita bisa menjadi teman seperti awal jumpa. Tak perlu saling memblokir kontak, kau bukan orang seperti itu. Terimakasih untuk hal-hal baik dan manis yang pernah kau berikan dan perjuangkan. Terimakasih pernah mengusap airmata saat aku menangisi hal-hal perih. Terimakasih telah membuat kerumitan menjadi hal yang baik-baik saja. Terimakasih kau telah menerima keputusanku ini dengan bijak.

Jejak Rindu


Awal Desember 2011, perkenalan kami melalui pesan singkat.
Akhir Desember 2011, pertemuan perdana kami pada perayaan malam pergantian tahun.
Januari 2012, kesepakatan kami untuk membangun hubungan satu tingkat lebih serius.
Mei 2017, kau menghapus aku.

Hujan hadir lagi. Di sore yang masih sepi aku kembali mengingat dirimu yang tak pernah kuminta pergi. Ribuan huruf kuketik; hanya untuk merindu. Boleh kutanya kembali apa kabarmu, Tuan? Sekarang aku ingin ceritakan satu hal yang tak dapat kujelaskan langsung kepadamu. Tentang diriku kini yang telah rela melepasmu atas hal-hal yang membuatmu pergi. Aku siap tanpa kabarmu. Aku siap tanpa senyummu. Tak ada lagi kami. Hanya aku, kamu, dan kami yang sudah sendiri-sendiri. Cukup sudah aku merintih, menangisi setiap malam karena kau yang tak kunjung datang menghampiri.

Aku belajar bahwa berjuang bukan hanya mempertahankan. Rela melepaskan juga merupakan perjuangan. Karena aku sadar, berjuang sendirian adalah hal yang melelahkan. Semua benda yang kau berikan; tidak ada satupun yang kubuang. Kusimpan rapih dan apik di dalam lemari kecil. Pakaian, hoodie, sepatu yang manis di kaki, tas-tas yang kubutuhkan, foto-foto berdua yang dulu kucetak, dan sebuah cincin emas bertuliskan January 21 di dalam sisinya—yang kau berikan pada tahun jadi kami yang ke-empat, 2016. Cincin yang sampai sekarang masih melingkar cantik di jari manis kananku.

Munafik jika aku berteriak aku bisa melupakanmu. Kau akan tetap ada, meski hanya sebagai yang pernah ada. Walau sempat tak mengira bahwa aku dan kau akan menjadi masalalu. Cerita kita hanya menjadi abu. Padahal rindu ini pernah begitu memburu. Rindu saat kau mengetahui kebohongan-kebohonganku, dan menunggu aku untuk menjelaskan tanpa kau tanyai lebih dulu. Rindu melihat awan mendung dan hujan dari balik jendela kamarmu. Rindu menghitung banyak langkah jemari saat melewati batang hidung dan berhenti di bibirmu. Rindu saat kau menatapku dengan teduh, memegang kedua pundakku dan merubah atmosfer menjadi lebih hangat beberapa derajat.

Semua tentang kau dan kami dahulu akan selalu menjadi hal yang kurindukan.
Untuk doaku padamu yang tak pernah berubah; agar kau selalu bahagia.
Kau bukan hanya baik, kau juga seorang yang amat baik-baik.
Penuhi janji-janji--yang dulu kau ikrarkan padaku--untuk perempuan yang akan menjadi pendamping hidupmu.

Aku telah melewati banyak bersamanya,
dan aku tidak akan lupa dengan rasanya.

Dariku; yang benar-benar melepaskan.

19 Okt ‘17//19.32 pm

Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...