Semua orang pada umumnya pasti
mempunyai teman. Begitupun kamu. Saat aku memutuskan untuk menjalani kisah baru
bersamamu, akupun ingin tahu seperti apa teman-temanmu. Seperti apa
pergaulanmu. Seperti apa dirimu saat menghabiskan malam bersama mereka. Bukan
aku ingin dikenal oleh temanmu, namun bagiku, sebagian cerminan diri adalah
bagaimana kita berteman. Diawal kemarin, aku belum kenal dan bertemu dengan
teman-temanmu. Aku hanya tahu komunikasi kalian melalui pesan whatsapp. Bukan sebuah
kelancangan bagiku jika aku membuka handphone dan mengecek chatmu. Toh aku
meminta ijin dan ia mengijinkannya. Satu pesan kubaca, ada istilah kata yang
tidak kumengerti. Aku bertanya, “ini maksudnya apa?”. Bukan apa-apa, jawabnya
singkat. Aku kembali membaca chat lainnya. Aku tertawa kecil saat melihat
daftar kontak handphonenya hanya ada 10 nama. Itu semua nama laki-laki.
Walaupun ada beberapa pesan dari nomor whatsapp yang tidak ia simpan, namun aku
tahu itu juga chat dari teman laki-laki lainnya.
Waktu berjalan, aku selalu
melakukan audit saat kita bertemu.
Dan bertanya lagi, “chat ini maksudnya apa? Aku gak ngerti deh”. Lagi-lagi ia
menjawab itu bukan apa-apa. Aku curiga, seperti ada hal yang disembunyikan. Lalu
ia bercerita semalam pergi bersama teman-teman dan baru
pulang esok paginya. Kau bergadang? Tanyaku sedikit menekan.
“Iya.”
“Bilangnya pulang jam 2?”
“Iya maaf. Jadinya pulang pagi.”
Aku merasa dibohongi. Memang
sepele, maksudku kenapa ia tidak jujur saja. Tak perlulah berbohong karena
takut aku akan marah. Aku terdiam.
“Ya udah gapapa”.
Aku terus memikirkan chat yang kemarin
kutanya. Tiba-tiba aku teringat satu hal. Aku tahu maksud kode chat itu. Ku
minta sore ini untuk bertemu. Kami duduk bersebelahan, kupesankan ia segelas
kopi hitam. Kubiarkan ia menghabiskan satu batang rokok. Aku memulai
pembicaraan. Kucoba untuk bertanya dengan sangat hati-hati dan berkepala
dingin.
“Kamu mau cerita atau aku yang
tanya?”
Sambil menyeruput kopi yang masih
panas, ia menggeleng, tidak mengerti maksudku.
“Aku ngomong, kamu dengerin ya.”
“Aku tau maksud chat kalian waktu
itu. Aku tau apa yang kalian bahas. Sejak kapan? Udah lama ya? Aku gak bakal
marah. Apasih gunanya? Kamu bisa lakuin hal lain. Kalau capek, gak perlulah begitu.
Sekarang jugakan ada aku, kamu harus berubah. Berubah lebih baik buat diri
kamu. Sebab kalau kamu berubah karena oranglain dan disaat orang itu kecewain
kamu, kamu akan kembali menjalani hidup yang dulu lagi. Aku ngomong panjang,
kamu dengerin gak?.”
“Iya, denger.”
“Terus?”
“Aku coba. Semua butuh proses ya.”
Bukan itu saja, aku sempat
memintanya untuk tidak merokok. Atau setidaknya dibatasi, tiga kali dalam
sehari.
“Ah, yang bener kalo nanya. Orang makan aja
sehari bisa empat kali.”
Aku terkekeh.
“Itu kalian chat bahas itu lagi.”
“Aku cuma nimpalin, nggak ikutan.”
“Kalau ditawarin?”
“Nolak lah, tapi kalau dicampur
sama kopi yang kuminum mana aku tahu.”
Aku gemas. Kujawab dengan tegas
“belum aja tempat main kalian aku acak-acak.”
Ia tertawa geli. Hidungku kembang-kempis.
Hey, aku serius!
Setelah itu kau sering membawaku
untuk berkumpul dengan teman-temanmu. Sedikit banyak aku mengetahui lingkar
pertemananmu. Selagi hal yang kau lakukan tidak merugikan dirimu dan oranglain,
aku pasti mendukung. Namun aku juga yang akan melarangmu jika kau berulah lagi.
Bertemanlah dengan siapapun, tanpa mudah tergoyah, aku tahu kau punya niat baik
untuk berubah.
Aku tidak akan berulangkali
mengingatkan. Cukup sekali dan kau mengikuti. Aku tidak keberatan jika kau
harus berbohong dalam setiap hal. Sebab kau akan merasakan suatu saat
kebohongan-kebohongan itu yang akan memberi jarak pada sebuah hubungan, dan
membuat satu diantara kita menghilang. Semoga kau paham, tuan.