Kamu memutuskan pergi dan berhenti menunggu. Karena
bagimu aku bukan sesuatu yang pasti—meski di dalam hatimu, katamu aku tak akan
terganti.
Dulu saat kamu mencintaiku, aku selalu punya seribu
cara menjauh. Tapi, kamu selalu tabah. Bagimu, luka yang kuberikan menjadi nama
lain dari kebahagiaan. Kamu terus kembali—kembali lagi. Sampai akhirnya aku
lelah—sampai kamupun lelah.
Kini, aku tak lagi punya cara untuk memintamu kembali.
Karena mungkin, saat ini kamu mati-matian berusaha melupakanku.
***
Aku pergi. Tapi sebelum pergi ajari aku untuk
melupakanmu dengan sempurna agar langkahku tak lagi berat.
Karena rindu atas namamu membuat sekujur tubuhku
melemah.
Semoga luka karenamu ini lekas mengering.
Aku senang, kamu sudah bersamanya sesaat sebelum
meninggalkanku.
Jadi, kamu tidak merasa kesepian, bukan? Tidak
merasakan kehilangan seperti yang saat ini aku rasakan.
***
Semuanya menjadikan seolah kau yang terluka.
Teruskanlah ambisimu itu. Aku tak akan menahanmu. Aku cukup paham bahwa semua
orang punya tujuan. Dan, ternyata memang yang kau inginkan bukan hal yang
sejalan dengan yang aku impikan. Aku pelan-pelan menata langkah untuk tetap
bersama, kau diam-diam menyalakan bara dan membakar semua cerita.
Sekarang aku merelakanmu dengan hal yang membuatmu
pergi. Kita hanya perlu menunggu waktu. Hari ini kau telah menanam segala luka.
Kelak, entah kapan, percayalah, bisa jadi yang kau perjuangkan dengan cara
seperti itu, menjadi menyebalkan dan menghempaskanmu melebihi apa yang kau
lakukan kepadaku. Barangkali kau melupakan satu hal. Mencari kebahagiaan dengan
cara merusak kebahagiaan orang lain adalah yang tak akan bertahan lama. Pada
saatnya, kau akan mengerti dan menyesal atas apapun yang membuatmu tergoda.
Nyatanya hanya bentuk lain dari luka yang sebenarnya.
Boy Candra, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar