Sabtu, 23 September 2017

Sebuah Usaha Melupakan dan Merayakan Kehilangan

Kamu memutuskan pergi dan berhenti menunggu. Karena bagimu aku bukan sesuatu yang pasti—meski di dalam hatimu, katamu aku tak akan terganti.
Dulu saat kamu mencintaiku, aku selalu punya seribu cara menjauh. Tapi, kamu selalu tabah. Bagimu, luka yang kuberikan menjadi nama lain dari kebahagiaan. Kamu terus kembali—kembali lagi. Sampai akhirnya aku lelah—sampai kamupun lelah.
Kini, aku tak lagi punya cara untuk memintamu kembali. Karena mungkin, saat ini kamu mati-matian berusaha melupakanku.
***
Aku pergi. Tapi sebelum pergi ajari aku untuk melupakanmu dengan sempurna agar langkahku tak lagi berat.
Karena rindu atas namamu membuat sekujur tubuhku melemah.
Semoga luka karenamu ini lekas mengering.
Aku senang, kamu sudah bersamanya sesaat sebelum meninggalkanku.
Jadi, kamu tidak merasa kesepian, bukan? Tidak merasakan kehilangan seperti yang saat ini aku rasakan.
***
Semuanya menjadikan seolah kau yang terluka. Teruskanlah ambisimu itu. Aku tak akan menahanmu. Aku cukup paham bahwa semua orang punya tujuan. Dan, ternyata memang yang kau inginkan bukan hal yang sejalan dengan yang aku impikan. Aku pelan-pelan menata langkah untuk tetap bersama, kau diam-diam menyalakan bara dan membakar semua cerita.
Sekarang aku merelakanmu dengan hal yang membuatmu pergi. Kita hanya perlu menunggu waktu. Hari ini kau telah menanam segala luka. Kelak, entah kapan, percayalah, bisa jadi yang kau perjuangkan dengan cara seperti itu, menjadi menyebalkan dan menghempaskanmu melebihi apa yang kau lakukan kepadaku. Barangkali kau melupakan satu hal. Mencari kebahagiaan dengan cara merusak kebahagiaan orang lain adalah yang tak akan bertahan lama. Pada saatnya, kau akan mengerti dan menyesal atas apapun yang membuatmu tergoda. Nyatanya hanya bentuk lain dari luka yang sebenarnya.


Boy Candra, 2016

(Bukan) Sepotong Hati yang Baru

Terinspirasi oleh judul buku best seller Sepotong Hati yang Baru karya Tere Liye. Buku yang menceritakan tentang kumpulan fiksi legenda yang berulang kali aku baca. Ia yang membelikan aku novel ini. Aku suka membacanya, tapi sayang, karena dia bukan lagi sepotong hati (ku) yang baru.

17.07 p.m
17 Agustus 2017
Senja selalu saja menghadirkan kisah berbeda setiap harinya. Dan kali ini, aku menikmatinya dengan mendengarkan musik instrumental dan segelas coklat panas. Yiruma – Rivers Flows In You menjadi favorite di sore ini. Lantunan instrumen indah pianis memberi stimulus untuk membuat tulisan yang akan sedikit menyedihkan. Kau tahu, banyak cara untuk seseorang menyimpan memori yang pernah ia rasakan. Ada yang menyimpannya hangat dalam kotak berisi kumpulan foto, ada yang membuat lagu, puisi maupun tulisan.
Kenangan; terdiri dari barisan huruf yang mempunyai makna tersendiri bagi si Pengenang. Momen suka, duka, hangat, jelek, buruk, bahkan tragis sekalipun tetaplah kenangan. Semua tersimpan rapih dalam kubikal kecil di hati. Dan tanpa bermaksud ingin mengulang, sayang, maka biarlah aku mengenang.
***
            Mentari pagi sudah menyibakkan cahaya hangatnya menembus jendela kamar saat itu. Pukul 09.00 aku terbangun. Membuka selimut dan mengambil segelas air hangat. Bandung pagi selalu indah. Sapaan lembut selamat pagi ku terjawab dengan senyuman tipis. Ia masih mengantuk rupanya.
Kuputuskan untuk mandi lebih dulu, karena aku akan mengelilingi beberapa wilayah di kota ini. Tentunya tidak sendiri. Menaiki becak untuk menuju tempat pertama. Mencari sarapan dan berkeliling dengan jalan kaki. Aku berfoto-foto. Menikmati keindahan kota romantis. Dan benar, itu akan selalu. Selanjutnya kami melakukan perjalanan ke tempat lain dengan menggunakan mobil online yang kami pesan. Lelah menjelajah dan membeli beberapa oleh-oleh, pukul 17.00 kami tiba di Stasiun Bandung untuk pulang ke Jakarta.
Aku mencoret satu nama kota destinasi dalam bucket list-ku. Semoga semua nama tempat dalam notebook kecil ini bisa tercoret, tentunya bersama-mu. Hari terus berganti, aku yang semakin menyayanginya namun rasa takut akan kehilangannya pun semakin besar. Sejak lama aku sering bercerita kalau aku suka mendapat mimpi ia memiliki perempuan lain. Maksudku, ia menyayangi perempuan lain. Entah karena alasan apa, ia meninggalkanku. Aku selalu menangis ketika nightmare itu terjadi. Bukan hanya satu atau dua kali, namun lebih. Setiap aku bercerita, ia selalu menenangkan, ‘mimpi hanya mimpi, jangan kau anggap serius’. Tetap saja, berulang kali mimpi itu terjadi. Sampai suatu ketika, itu benar terjadi.
***
Akhir 2014, saat aku bersamanya, aku lupa menghapus chat dengan cowok lain. O..ow aku ketahuan. Ia marah dan hanya diam. Mengajakku keluar untuk membicarakan hal itu. Ia bertanya sejak kapan dan sudah sejauh mana kami-aku dan orang ketiga- berjalan. Aku menjawab seadanya. Sampai tulisan ini dibuat, aku tidak berani untuk mengingat jelas kejadian itu. Ia meraih tanganku, meminta untuk menatap matanya dan menjelaskan semua. Kau tahu ada hal yang membuat ku menangis, bukan karena aku ketahuan, bukan karena aku harus meninggalkan orang yang sudah masuk dalam hubungan kami, namun ketika malam itu, ia menggenggam tanganku semakin erat dan bertanya;
“Apa kurangnya aku? apa yang aku gak punya sampai kamu bisa kayak gini?”.
Seketika airmata turun tanpa bisa kutahan. Kulihat ia kuat-kuat menahan butiran hangat di ujung mata.
“Aku udah firasat, ini bakal terjadi. Aku selalu nampik sampai aku baca sendiri chat kalian udah sejauh itu. Aku mohon, kamu tinggalin dia. Kita mulai dari awal tanpa ada orang ketiga.”
Apa yang sudah kuperbuat bukanlah hal yang patut ditiru. Itu bukan hal pertama, ada kedua atau lebih dengan inti yang sama namun cerita berbeda. Dan berulang kali aku meminta maaf, dan lagi-lagi ia memaafkan. Tidak jarang ketika marah aku memaki-makinya secara langsung ataupun lewat ponsel. Sering kami bertengkar, selalu ia yang mengalah. Terbuat dari apa hati lembutnya itu. Tidak pernah ia membentakku apalagi memukul. Yang aku tahu, ia menyayangiku dan akan selalu begitu.
Ia yang selalu pulang kerja terburu-buru saat aku mendadak mengabarkan bahwa aku datang ke rumahnya. Ia yang membelikan ku jam tangan namun aku lupa menaruhnya dan hilang. Ia yang akan membelikan apa yang aku bilang, padahal aku hanya bercerita, demi tuhan aku tidak memintanya untuk membelikan barang yang aku butuhkan. Ia yang akan menjelaskan dengan sangat detail ketika tidak ada kabar seharian. Ia yang selalu bercerita tentang segala hal. Ia yang selalu tidak tahan untuk tidak membeli barang yang ia ingikan, dan ku anggap itu mahal. Ia juga yang terkadang memintaku ke warung untuk membelikan rokok-ini konyol dan nyebelin sih-. Ia yang selalu memberikan dompetnya ketika kami makan, nonton, atau berbelanja. Untuk hal ini, ia tidak pernah membayar sendiri, selalu setiap kami hanging-out, ia menyuruhku yang membayar dengan uang/kartu dari dompetnya. Jangan mengira aku matrealistis, kami saling berbagi untuk membayar. Entah mengapa dari dulu aku hanya tidak enak kalau senang-senang bersama tapi hanya diam dan tidak ikut andil. Ya kau tahu kan, ada orang-orang yang cuma maunya kenyang, senang dan hanya diam.
***
Hubungan kami mulai merenggang sejak kejadian akhir tahun 2014 itu. Kepercayaannya pada ku sedikit demi sedikit berkurang. Ia semakin posesif. Aku mempunyai jam malam, tidak boleh menginap di rumah teman, dan hal-hal larangan lainnya. Ku kira semua itu wajar, ia takut aku berulah lagi. Bulan dan tahun saling berganti. 2016, aku merasa tidak banyak kemajuan pada hubungan kami. Ditambah aku yang sering berbohong. Mengapa aku harus berbohong? Karena bila jujur, ia akan marah dan mendiamkan ku.
Aku pernah membaca sebuah kalimat ‘Jika kamu menyukai yang pertama dan jatuh cinta pada yang kedua, pilihlah yang kedua, karena jika kamu benar yakin pada yang pertama, kau tidak akan jatuh pada yang kedua’. Apakah suatu saat nanti kami tidak akan bersama-sama lagi? Apakah bahagia kami bukanlah kami? Maksudku, jika di antara kami dibuat bahagia oleh orang lain, apakah kami akan memilih orang lain tersebut atau mempertahankan yang kami punya?.
***
Aku ini perempuan egois, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Tapi ia selalu sabar menghadapi semua sifat dan sikap burukku. Tidak jarang, setiap kami bertengkar, aku mengancam untuk putus. Namun tidak pernah sekalipun kata putus ia ucapkan. Hal-hal sepele selalu aku permasalahkan.  Semua salah yang aku lakukan, selalu ia maafkan.
Kesabaran, rasa takut kehilangan, dan rasa sayangnya padaku membuatku besar kepala. Kelemahannya padaku menjadi senjata bagi diriku yang secara tidak sadar untuk menguasainya. Sampai pernah dengan angkuh aku berkata ‘apapun yang aku lakukan nanti ia tidak akan meninggalkanku’.
Dan itu salah, pertengahan Mei 2017, ia memutuskan untuk pergi.
Berbagai cara aku lakukan untuk memintanya kembali. Aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang tidak ia sukai. Aku akan menjadi seperti yang ia minta. Aku berjanji tidak akan berbohong lagi. Dan bodohnya, air mata ini selalu turun dengan mudah. Padahal aku tahu ia tidak suka melihatku menangis. Aku tidak menyerah karena aku yakin kami akan bersama-sama lagi. Ini saatnya aku yang berjuang untuk mempertahankan hubungan kami. Ironis bila kau tahu bagaimana kacau yang aku rasa. Ia tetap pada pendiriannya. Memintaku untuk memperbaiki diri, menjadi lebih baik untuk oranglain nanti. Memintaku untuk mulai menghargai dan tidak menyepelekan rasa sayang yang diberikan nanti.
Kita masih bisa berteman.”
Aku pasrah, menyerah, dan kalah. Andai ia tahu, seburuk apapun dulu hal yang ku lakukan tanpa ia tahu, aku selalu mempertahankan hubungan kami. Dan hal ini membuat ku sadar, menjaga hubungan dan mengotorinya secara bersamaan adalah salah.
Dan ia melakukan hal benar, meninggalkanku untuk membangun hubungan baru.
***
Sudah lama kami tidak sejalan
Aku saja yang tidak sadar
Aku dengan egoku
Kau dengan sabarmu
Sampai kau lelah dan tak tahan
Memilih pergi demi kebaikan kau dan aku, katamu
Aku setuju, asal kau berjanji akan bahagia
Terimakasih sudah menjaga
Terimakasih pernah menerima
Aku merelakan mu untuk perempuan lain,
yang telah sabar menunggu dan merawat lukamu sejak dulu.








Intuisi


Mungkin bisa dari sini, prolog indah yang ku rasa. Berulang kali aku dibuat jatuh cinta. Degup aneh ketika bertemu itu terus ada. Ia yang selalu aku tunggu kabar setiap harinya. Kami mempunyai mimpi yang sama. Bahagia.
2017, tahun ke-lima.
Banyak pengorbanan, air mata, kebahagiaan, tuntutan, bahkan kehadiran pihak yang tidak seharusnya hadir.
Bukan ia yang datang, tetapi aku yang meminta-nya memasuki pintu.
Bukan salah mu, bukan juga salah-nya. Dan ego-ku menyebut, ini juga bukan salahku.
Kau tahu, aku tidak meminta mu sempurna, aku tidak meminta kau selalu ada. Karena bagi ku, ‘selalu ada’ takkan pernah ada.
Kau tahu, aku menghargai kesibukan mu, dunia mu, teman-teman mu. Hingga kau lupa satu hal, kesibukan mu mengabaikan seseorang. Kau tentu tak sadar, sampai ia datang. Bertanya kabar. Ciptakan debar.
Ia tahu aku memiliki mu. Tanpa ku jelaskan, tanpa perlu ia bertanya. Berita burung yang ia dengar, aku sedang kacau. Padahal tidak, aku (mencoba) baik-baik saja.
Entah bagaimana cerita awal elegi ini. Aku yang meminta kau pergi atau aku yang melarikan diri?
Kau pun sama, bukan? Tidak menahan. Baik, ku anggap ini selesai.
***
Waktu berjalan, melewati hari sendirian. Langkahnya membayangi setiap langkah ku. Sampai saatnya kami sejajar, aku berhenti. Meminta ia berjalan lebih dulu. Kau tahu, intuisi ku masih menunggu.
Dan kepada-nya, kau tak perlu menunggu. Memulihkan kekecewaan bukan hal mudah. Dan aku, tidak ingin kau kecewa.
Terimakasih telah menjaga. Keluarlah, aku akan mengunci pintu. Tak perlu kau risaukan.
Pergilah.


--Intuisi-ku masih menunggu--

May 18, 2017.

The Unexpected Curug Cibeureum

Happy weekend sobat senja.
Beberapa waktu lalu (3/09/17) saya, bae, dan dua rekan lainnya berwisata dadakan ke kawasan Cibodas – Jawa Barat. Sebut saja kedua teman saya adalah Susan dan Dimas. Mereka adalah pasangan yang terjebak keadaan. Eh maksudnya mereka saling nyaman padahal masing-masing dari mereka sudah berpasangan. Haha skip.
Kami berangkat pukul 02.00 dini hari. Dengan menggunakan sepeda motor, kami menyusuri jalanan kawasan puncak dengan santai diselimuti hembusan angin yang menusuk-nusuk hangat. Sambil meluk yang bawa motor maksudnya he he. Tiba di Cibodas sekitar pkl 04.00. Kami rehat di salah satu warung yang saya rekomendasikan. Kebetulan sebelumnya pernah istirahat di warung yang sama. Adzan Subuh, saya, bae, dan Dimas sholat subuh jamaah di masjid terdekat. Susan sedang berhalangan, maka ia menjaga barang bawaan kami di warung tersebut. Sempat terpikir untuk menyewa villa/hotel. Apalagi ada aplikasi yang mempermudah pemesanan kamar secara online. Tetapi setelah dirundingkan, kami memilih tidur di warung saja. Jauh lebih ekonomis juga. Hanya dikenakan charge Rp 15.000/org.
Teman-teman tertidur pulas. Saya tidak tidur dan memilih melihat sunrise di luar. Pemandangan tinggi gunung Gede Pangrango menjadi landscape favorite pagi itu. Sebelumnya kami mencari referensi tempat wisata di Puncak:
ü  Taman Bunga Nusantara
ü  Taman Matahari
ü  Little Venice
ü  Kebun Raya Cibodas
“Itu gw udah semua, yang lain deh.” Protesku.
Karena sudah terlanjur berada di atas, kami memutuskan untuk hiking ke curug Cibeureum. Sempat browsing di mbah gugel mengenai seluk beluk curug dan jalurnya. Dan saya pikir mungkin sama seperti curug biasanya. Leuwi hejo, bidadari, curug nangka, dan lainnya yang pernah saya kunjungi. Treknya mungkin tidak terlalu berat, batinku. Dengan penuh percaya diri, kami siap menuju puncak Cibeureum. Jarak dari pos pertama (pos tiket) adalah 2,7km dengan waktu tempuh 45menit - 1jam normal perjalanan. Nyatanya kami butuh 1,5jam untuk tiba di curug. Awalnya saya sangat antusias, sampai di tengah perjalanan saya mulai ngos-ngosan. Jujur saya pecinta alam, tapi yang naik gunungnya nyuruh orang. Maksudnya, saya nggak kuat kalau harus naik gunung beneran. Nafas saya seperti terbatas untuk summit gunung. Daaannn....curug ini punya trekking ter-paraaaahh versi saya. Jalurnya sangat jauuuh. Kami banyak istirahat, jumpa dengan pengunjung lain yang pada selonjoran kaki. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak kecil yang ikut. Saya merasa it’s very challenging. Moso saya kalah sama anak kecil? Akhirnya saya terus berjalan, walau memerlukan bantuan.
“Aku gak kuat. Dorong aku dong!” pintaku sambil berjalan kecil.
“Nyusahin ngajak lumba-lumba ke gunung.”
Sepanjang jalan, saya bersama bae. Teman saya juga berduaan di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan. Saya dan bae banyak bercerita dan tertawa kecil. Pokoknya jangan sampe saya bengong, nanti capek! Kami melewati Telaga Biru, dan berfoto. Kemudian sekitar 100 meter dari sana kami melewati Rawa Gayonggong. Disini ada papan petunjuk arah untuk pengunjung. Arah kanan adalah arah menuju Curug Cibeureum dan arah kiri menuju Gunung Gede Pangrango. Tertulis 10,5KM untuk menuju Gunung Gede. Pikiran saya waktu itu, GILA HEBAT YA ANAK GUNUNG. Trekking curug saja aku banyak mencuit. Jiwaku memang laut, bukan gunung. Eaaa.
90menit, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Huaaaah...worth it. Air curug yang seperti curug. Terdapat dua curug. Yang satu tinggi dan satu lagi sedikit rendah. Sebenarnya ada tiga curug, tapi yang satu lagi tersembunyi. Dingin. Padahal saya menyiapkan baju ganti, tetapi niat untuk mandi diurungkan, karena sudah lelah. Saya hanya bermain cipratan air, gagal jadi lumba-lumba curug euy. Di curug yang tinggi, saya melihat pelangi di kaki air. Wah, ada bidadari lagi mandi kali yaa.
Setelah di rasa cukup dengan aktivitas per-curug-an, pukul 11 siang kami turun. Persediaan air habis, sekitar 200 meter berjalan, saya membeli air mineral. Sebotol dibandrol harga Rp 10.000.
“Yah kok mahal mang?” godaku pada penjual.
“Saya naik-naik kesini. Lihat perjuangannya atuh neng.” Jawab si mamang sambil ketawa.
Yeeeu...setidaknya diriku pernah berjuang~
Jam 12.00 kami tiba kembali di titik nol Cibodas. Kaki ku pegal-pegal dan kami memutuskan untuk take a nap di warung awal. Jam 14.00 kami kembali menuju rumah masing-masing. Setibanya di rumah, kedua kaki saya memerlukan setengah tube krim otot pegal linu.
Point of view saya pribadi adalah perbanyaklah jalan-jalan. Walaupun betah di rumah adalah sunnah. Tetapi perlu juga-loh tidak membatasi diri. Mengeksplor lebih jauh dan berkontemplasi dengan alam. Alam itu luas. Allah menciptakan semesta dengan keindahan-keindahan di dalamnya dan untuk dinikmati. Jangan menjadi vandal. Cintailah yang ada di bumi maka langit akan mencintaimu. Satu hal lagi, jangan tinggalkan apapun selain hembusan CO2 heheheheh.


Get in touch, salam lumba-lumba.

4 (Empat)


Siang ini,  Minggu, 13 Agustus 2017, tak disangka aku kembali menulis. Kali ini pada bagian 4. Lucu memang. Ku pikir bagian 3 adalah yang terakhir. Maksud ku, saat itu aku berpikir dia yang akan menjadi pasanganku hingga menikah nanti. Lugu dan naifnya pikiran singkat dalam masa yang sedang bahagia-bahagianya kala itu.
Pada bagian ini, aku tidak mau kembali berharap ini adalah yang terakhir. Bukan aku meragukan, hanya saja berharap sesuatu yang belum terjadi ternyata tidak enak. Maka, jalani saja. Aku menjadi lebih baik, untuk diriku sendiri. Begitupun dengan dia. Mari dimulai saja bagian ini.
***

Kami bekerja disatu perusahaan yang sama. Satu tim juga.  Ia junior ku, baik dalam segi usia dan aku yang lebih dulu bekerja di tempat tersebut. Tinggi badan 175cm, kurus sedikit berisi, kulit sawo matang, dan memakai kacamata. Pertama kali melihatnya, biasa saja, tidak ada yang istimewa dalam padanganku terhadapnya. Ia pendiam. Tidak pernah mengajak ku atau teman perempuan lain berbicara-kalau bukan soal pekerjaan- atau sekedar basa-basi. Makan siang sendiri atau berkumpul dengan teman laki-laki lainnya. Pulang kerja pun ia langsung pulang. Dan satu lagi, ia tidak pernah merokok.
Omong-omong soal rokok, aku selalu penasaran dengan cowok anti-rokok. Bagaimana bisa jaman sekarang seseorang tidak merokok? Maksud ku, apa di masa sekolah ia tidak pernah berkumpul, bergaul dan nongkrong di pinggir jalan atau basecamp? Semua pasti merokok bahkan ditambah dengan komplimenter lainnya-minuman atau hal parah lainnya. Apalagi untuk seorang laki-laki. Bagaimana rasanya tidak merasa penasaran bahkan tidak mau mencoba untuk merokok? Ah sudah, kita tidak perlu membahas rokok dan asapnya itu saat ini.
Beberapa bulan kemudian aku dengar kabar ia menyukai teman perempuan ku. Temannya juga sih. Sebut saja perempuannya Kembang. Si cowok dinamai Mikroba. Aku bahkan ikut meledek saat teman lainnya bercanda akan hal cinta-cintaan itu. Kembang tidak melayani candaan tersebut, karna Kembang sudah punya pacar juga mungkin. Tidak jarang Kembang malah marah kalau sering diledek bahwa disukai laki-laki pendiam itu. Tak pernah aku merasa cemburu, saat itu akupun masih menjalani hubungan dengan dia-bagian 3-. Teman ku pernah meledek, “kenapa kamu ngga sama dia aja?-si Mikroba maksudnya-. Kan dia anak baik tuh. Masih polos juga”. Aku hanya tersenyum dan menjawab “ngga lah aku udah punya pacar. Pacarku juga baik”.
Hari demi hari berjalan seperti biasa. Datang, bekerja, istirahat, bekerja lagi sambil menunggu jam pulang tiba. Sering ku perhatikan, bagaimana bisa seorang cowok pendiam atau lebih seperti introvert begitu? Memang dia gak minat bergaul sama cewek-cewek ya? Memang dia gak mau punya pacar ya? Dan begitu banyak pertanyaan hinggap di kepala ku. Sampai aku sendiri berpikir yaampun untuk apa aku mikirin urusan orang lain? Kenapa aku jadi kepo sama dia? Kenapa aku mau tau lebih banyak tentang dia? Tentang kebiasaannya, hidupnya, pergaulan, dan hal lainnya. Mungkin aku cuma penasaran, gak lebih. Batinku.
Walaupun aku tipikal perempuan yang rame, ribet, heboh seperti ini, tetapi aku suka dengan cowok yang pendiam. Bahkan setiap diajak main kesebuah perkumpulan, komunitas/tongkrongan, yang menjadi pusat perhatianku adalah cowok paling diam diantara mereka he he he. Suka aja, daripada yang heboh juga. Adem, teduh, enak dilihat kalau cowok kalem tu.
Back to topic, aku diajak taruhan!
“kalau lo bisa dianter pulang sama Mikroba, atau dianter sampe stasiun Tebet ajadeh, nanti gue beliin makanan.” Aku diam, kenapa temanku mengajak taruhan? Toh cuma diantar pulang, sampai stasiun pula. Apa susahnya?
Besoknya, setelah jam pulang tiba, aku memberanikan diri menyapa duluan dan bilang: “nanti anter gue pulang ya, sampe stasiun ajadeh, gimana?”
Gila, bisa-bisanya aku mengucap kalimat se-frontal itu. Bahkan tanpa chit-chat diawal. Tidak menunggu lama, jawaban yang gak sempet terpikir keluar dari Mikroba,
“Maaf, saya buru-buru juga ada acara. Lain waktu mungkin ya. Sorry nih duluan.”
ANDAI KAMU TAU RASANYA. Itu penolakan, sehalus apapun intonasi suaranya, tetap saja itu sebuah penolakan. Besoknya, aku ngedumel sama temen yang ngajak taruhan. Dia ketawa ngakak, ternyata sebelumnya dia juga minta pulang bareng tapi ditolak juga. Gak lagi-lagi deh gue ngajak bareng.
***
Semakin hari hubunganku dengan pacarku saat itu semakin memburuk. Sampai tiba saatnya ia meminta hubungan ini diakhiri. Aku lemas membaca kalimat panjang yang ia kirim. Semua penjelasannya kenapa menyudahi adalah sebuah jalan keluar. Aku kecewa. Sempat aku menahan, apa semua gak bisa dibicarakan baik-baik? Apa menyelesaikan ini semua adalah jalan terbaik? Baru kali ini aku merasa sayang sebegitu sayang. Sedih sebegitu sedih. Kira-kira itu terjadi di pertengahan bulan Mei lalu. Aku merasa seperti tidak bergairah menjalani hidup. Terserah kau berpikir aku berlebihan, tapi itu yang aku rasakan saat itu. Menangis sampai subuh, tidak tidur dan pergi bekerja lagi. Menangis lagi. Kasihan sekali kalau orangtua yang selama ini membesarkan ku, mengetahui anak bungsunya menjadi naas.
Mata sembab, tidur tak cukup. Membuat ku kuyu. Banyak yang bertanya mengapa aku menjadi layu hanya karna ditinggal pacar? “Come on, hidup gak selemah itu”.
Aku bersyukur, tuhan menyatukanku dengan orang-orang baik, peduli, dan saling mengasihi. Aku dibekali banyak nasihat bahwa hidup blablabla. Sampai aku yakin, aku harus bangkit.
***
Sore itu selatan Jakarta lagi macet-macetnya. Aku menghela nafas panjang. Butuh waktu lama untuk bisa sampai stasiun Tebet. Tiba-tiba saat mau menyebrang jalan, aku dikagetkan dengan kehadiran seseorang. Dia berdiri di samping kanan ku-sambil memencet tombol untuk penyebrang- dan bilang “mau bareng gak? Tawarannya cuma sekali.” Aku nge-freeze. Belum sempat jawab, karena kendaraan sudah berhenti mempersilahkan aku dan pejalan kaki lainnya menyebrang.
“Kalo gak mau ya udah. Gak bakal maksa-maksa. Gue duluan.” Sambungnya lagi sambil berjalan menuju parkiran motor.
“Eh tunggu, barengin deh.”
Esoknya, aku tak menceritakan bahwa aku diantar Mikroba. Karna ia bukan barang taruhan.
Sejak sore itu, semakin sering kami berinteraksi. Karna sifat sanguinislah, mudah bagiku untuk berbaur dengannya. Semakin hari, kami semakin dekat. Kabar darinya menjadi kebutuhan. Ia datang menciptakan debar. Aku tak perlu bercerita tentang elegi yang masih basah. Ia tahu, apa yang belum lama aku alami. Tak jarang, aku masih menangis. Sedih itu masih ada. Dengan sabar ia mengusap bulir hangat di ujung mata. Tanpa ia bertanya. Tanpa ia memaksa aku untuk bercerita. Tanpa dia memaksa aku untuk segera melupa.
Baginya, masa lalu akan tetap ada, semakin kau bersikeras melupa, semakin tajam kenangan itu menyapa. Biarlah, rasakan, nikmati proses mengenang sampai semua memudar. Menghilang bersama angan yang pernah kalian impikan. Sekarang, aku yang disini. Menjadi tuan rumah baru bagi pintu hatimu.
Berulang kali aku memintanya untuk pergi
Berulang kali ia kembali
Aku menjauh
Hadirnya semakin merengkuh
Ku bilang tak  bisa melupa
Kau jawab tak apa teruskan saja:
Jika mengenang membuat mu senang, lakukan saja.
Aku suka membuat mu melakukan hal yang membuat dirimu bahagia, sayang.

2.00 pm
Terimakasih, Tuan Mikroba yang baik hati. Kau tak mengekang, tak melarang, malah menyuruh ku melakukan hal-hal yang ku sukai. Karena kau tahu, kemana aku harus pulang.
Kau tau kawan? Semakin digenggam erat, pasir pantai ditangan akan habis juga.
Dan ia memakai prinsip, aku merelakan kau dengan duniamu, mempercayakan hal-hal apa yang harus dan tidak boleh kau lakukan.
Dan perkara ditinggalkan atau meninggalkan, itu urusan nanti. Menjadi baiklah untuk dirimu sendiri. Perempuan baik tahu bagaimana cara untuk menjaga. Agar kehilangan orang tersayang karena diambil-alih tak lagi terulang.



Selamat datang hari baru.
Semoga nyaman di tanggal yang baru.
Happy 22 J


Ps: Ia adalah sosok yang berulang kali ku minta pergi pada tulisan “Intuisi”.

Desember di Jogja

Merasa penat dengan hiruk-pikuk ibukota, macet dan dibuat berjuang setiap hari kerja dengan angkutan urban yang terkadang cukup tidak man...